Peranjian maritim terbaru antara Indonesia dan Cina telah memicu kekhawatiran di kalangan analis, menimbulkan pertanyaan apakah hak kedaulatan Indonesia mungkin terkompromi di tengah ketegangan Laut Cina Selatan.
Selama bertahun-tahun, Beijing menghadapi penolakan dari negara-negara Asia Tenggara terkait klaim luasnya di Laut Cina Selatan, yang diklaim Cina berdasarkan "sembilan garis putus-putus" pada peta lama—sebuah batas yang tumpang tindih dengan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) beberapa negara di kawasan tersebut.
Perjanjian yang melibatkan Cina atas perairan strategis ini sudah lama menjadi isu sensitif, dengan beberapa negara Asia Tenggara khawatir bahwa kesepakatan ini dapat dianggap sebagai pengakuan implisit atas klaim luas Cina.
Pada 2016, pengadilan internasional menyatakan bahwa klaim historis Cina di wilayah tersebut tidak memiliki dasar hukum berdasarkan hukum internasional, meski Cina menolak putusan tersebut.
Kesepakatan terbaru ini diumumkan akhir pekan lalu selama kunjungan Menteri Pertahanan Indonesia, Prabowo Subianto, ke Beijing , Jumat 8 November 2024, di mana dia menyebut bahwa kedua negara telah mencapai "pemahaman bersama yang penting" mengenai pengembangan bersama di wilayah yang mungkin memiliki klaim yang tumpang tindih.
Terlepas dari posisi Cina, Kementerian Luar Negeri Indonesia terus menegaskan bahwa Indonesia bukanlah negara pengklaim di Laut Cina Selatan dan tidak memiliki yurisdiksi yang tumpang tindih dengan Cina. “Indonesia menegaskan kembali bahwa klaim Cina tidak memiliki dasar hukum berdasarkan hukum internasional,” ungkap Kementerian Luar Negeri dalam pernyataannya, menegaskan kembali bahwa perjanjian ini tidak akan mengorbankan hak kedaulatan Indonesia.
Kerja sama yang berkembang antara Indonesia dan Cina di perairan sensitif ini menyoroti keseimbangan yang ingin dijaga Jakarta: membangun kemitraan strategis sekaligus mempertahankan kedaulatan nasional di tengah salah satu sengketa teritorial paling kompleks di kawasan Asia-Pasifik.