Masih belum jelasnya pengaturan tentang pelaut oleh pemerintah Indonesia, semakin menjauhkan Indonesia sebagai bangsa pelaut. Hal ini ditandai dengan masih adanya saling tarik menarik kepentingan antara Kementerian Perhubungan cq. Ditjen Hubla dengan Kementerian Tenaga Kerja. Kita ketahui bersama bahwa pelaut adalah sebuah pekerjaan yang selalu berpindah-pindah dari satu negara ke negara lainnya, atau dari pelabuhan ke pelabuhan lainnya. Karena kekhususan ini, badan dunia ILO dalam salah satu konvensinya yang bernama The Internatinal Convention on Migrant Workers and its Comittee tidak menggolongkan pelaut kedalam pekerja migran.
Indonesia melalui Undang Undang nomor 18 tahun 2017 malah menggolongkan pelaut sebagai pekerja migran, walaupun Indonesia sudah meratifikasi The Internatinal Convention on Migrant Workers and its Comittee lewat Undang Undang nomor 6 tahun 2012 yang berarti Indonesia seharusnya melaksanakan isi dari konvensi internasional tersebut. Disini mulai terjadi kerancuan, bagaimana posisi pelaut di Indonesia? Apakah mengikuti aturan yang berlaku di dunia, atau ingin berbeda dan membuat sendiri aturannya. Pilihan kedua jelas memiliki imbas yang jauh dari harapan, karena menggolongkan pelaut sebagai pekerja migran tentu akan berimbas pada hal fundamental yang berbeda dari yang dilakukan oleha negara-negara anggota IMO lainnya didunia dan membuat pelaut Indonesia menjadi tidak bisa bekerja di atas kapal-kapal asing dan mengirim devisa untuk Indonesia seperti yang sekarang ini berlangsung sejak puluhan tahun lalu.
Ikatan Korps Perwira Pelayaran Indonesia (IKPPNI) merasa perlu memberi tahu pemerintah yang berkepentingan atas hal ini, oleh karena itu melalui surat IKPPNI kepada Kemenkomarves dan Kementerian Perhubungan serta kepada DPR RI Komisi V diharapkan akan mengingatkan pemerintah agar pelaut Indonesia tidak tersesat di tengah samudera. Berikut adalah surat yang dikirimkan;
PENTINGNYA MEWUJUDKAN
PERATURAN PEMERINTAH YANG KHUSUS BAGI PELAUT INDONESIA UNTUK MENDUKUNG
PENINGKATAN DEVISA NEGARA.
Penulis: Dwiyono Soeyono – Praktisi Maritim Niaga.
Cimahi, 13 Maret 2022.
Pelaut Indonesia perlu mendapat dukungan dari
pemerintah untuk jaminan kepastian hukum dalam ketenangan bekerja agar tetap
dapat secara konsisten menghasilkan devisa negara. Jaminan kepastian hukum itu
sampai saat ini masih belum nyata, karena masih terjadinya tarik ulur kewenangan
payung hukum lintas lembaga kementerian antara Kementerian Perhubungan cq
Direktorat Jenderal Perhubungan Laut dengan Kemeterian Ketenagakerjaan.
Mengutip artikel yang telah
tayang dengan judul "Kemenko Marves Klaim Pelaut Mampu Tambah Devisa
Negara hingga Rp 150 Triliun":
JAKARTA,
KOMPAS.com - Deputi bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi Kementerian
Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi Basilio Dias Araujo mengatakan,
pemerintah memberikan perhatian besar terhadap pekerja migran Indonesia (PMI). Salah satunya awak buah
kapal (ABK) Indonesia yang bekerja sebagai pelaut. Menurut dia, ABK ini mampu
menambah devisa negara berkisar Rp 151,2 triliun dari pendapatan yang
didapatkan.
Ada
konvensi yang merupakan produk badan dunia Perserikatan Bangsa Bangsa yang
dikenal dengan The
International Convention on Migrant Workers and its Committee, yang menyatakan
dengan tegas bahwa Pelaut tidak termasuk kedalam pemberlakuan konvensi yang tersebut.
Dengan kata lain bahwa pelaut dinyatakan BUKAN SEBAGAI TENAGA MIGRAN. Pemahaman
demikian memang tidak bisa dibiaskan, mengingat adanya konvensi ILO C97 pasal
11 yang juga jelas menyatakan bahwa PELAUT TIDAK MASUK DALAM KATEGORI TENAGA
MIGRAN. Ini sangat disadari oleh ILO dan dipertimbangkan matang-matang, karena
memang karakter penanganan pekerja Pelaut sebagai pekerja di laut (lex
spesialis) dengan aruran-aturan yang mengikatnya secara internasional tidak
bisa disamakan dengan pekerja umum dengan kegiatan bekerja di darat (lex
generale).
Indonesia meratifikasi konvensi tersebut (The International Convention on Migrant
Workers and its Committee dalam bentuk UURI no.6 tahun 2012). Artinya
Indonesia juga menyatakan setuju atas keseluruhan isi dari konvensi untuk taat
sesuai makna dari pemahaman arti KONVENSI.
Tetapi
jika kita menyimak Undang-undang negara no.18 tahun 2017 tentang Perlindungan
Pekerja Migran Indonesia, pemahaman yang tidak tepat tentang kategori pelaut
sebagai tenaga pekerja migran justru muncul dan dilegitimasikan dalam UU-RI.
Mengapa kepastian hukum itu sedemikian penting bagi
Pelaut aktif yang masih berlayar di luar negeri khususnya, yang notabene Pelaut
adalah tenaga kerja lex spesialis berstandar sertifikasi Internasional?
Beberapa hal yang harus difahami terkait standar
kepelautan internasional:
1.
Tidak mengenal Undang-undang ketenagakerjaan RI,
Pelaut sudah memiliki mekanisme dan aturan-aturan khusus.
2.
Tidak mengenal UU RI lainnya terkait kepelautan dimana
yang diberlakukan bagi pelaut sebatas wilayah Indonesia, dimana yang berlaku secara
internasional adalah berdasrkan konvensi-konvensi lintas negara.
3.
Telah memiliki standar perlindungan pelaut
Internasional dalam perjanjian kerja laut standar kepelautan.
4.
Telah memiliki mekanisme dan standar perjanjian
kerja pelaut secara Internasional dan diakui.
5.
Telah memiliki perangkat peraturan perlindungan
Pelaut sesuai standar internasional, dimana jaminan kompensasinya jauh lebih
tinggi bagi pelaut dibanding yang tertuang dalam peraturan Indonesia.
Dari beberapa hal yang disinggung diatas dengan
pertimbangan aspek bisnis perkapalan internasional, bila dipaksakan memahami
dan mengikuti standar Indonesia yang dianggap menyulitkan proses perekrutan,
maka pangsa peluang profesi pelaut di dunia internasional bisa terancam. Karena
secara bisnis di luar negeri akan melirik pada negara-negara lain dengan SDM pelaut-pelautnya
sudah siap serap dengan standar yang sudah berlaku umum secara internasioanal
tanpa menyulitkan proses perekrutan dan lain-lain termasuk perangkat-perangkat peraturan
perlindungannya. Dapat dibayangkan kerugian pemasukan devisa negara dari pelaut
bila hal demikian terjadi?
Meningkatnya potensi pendapatan devisa negara dari
pelaut, sangat bergantung kepada kepastian perangkat hukum yang memayungi
pelaut. Mengapa negara harus berani menyatakan pelaut adalah bukan tenaga
migran dan termasuk lex spesialis? Karena bila status itu melekat, secara
otomatis semua perangkat aturan dan hukum yang berlaku untuk memayunngi akan
serta merta melekat sesuai status yang dinyatakan. Dan dunia industry
perkapalan internasional juga akan tentunya menaruh respek akan kepatuhan yang
dilakukan terhadap konvensi yang sudah disepakati.
Saran-saran bagi Lembaga Legislatif dan Eksekutif yang
memiliki kewenangan terkait maritim niaga untuk mendukung peran Pelaut agar
dapat meningkatkan devisa negara:
1. Direktur
Jenderal Perhubungan Laut laiknya dari profesi dengan latar belakang pendidikan
tinggi lulusan DIKLAT PERLA yang tidak segan mendengar masukan-masukan praktisi,
agar benar benar memahami segala aspek kepelautan.
2. Harus ada
ketegasan kehadiran negara, Pelaut dengan segala aturan-aturan hubungan kerja
yang berlaku dibawah kewenangan KEMENAKER atau dibawah KEMENHUB cq Direktorat Jenderal
Perhubungan Laut.
3. Negara
harus berani menyatakan Pelaut adalah bukan tenaga migran, dimana artinya
sebagai konsekuensi hukum bahwa UU-PPMI harus direvisi sesuai konvensi ILO yang
diratifikasi.
4. Harus
adanya standar mekanisme perekrutan yang disepakati lintas beberapa Lembaga
Kementerian negara (Kemenhub, Kemenaker, Kemenkumham, KemenkoMarinvest,
Kemenlu)
5. Ijin
usaha perekrutan Pelaut harus ditetapkan negara, berada dibawah Lembaga
Kementerian yang mana.
6. Memperluas
kerjasama CoR (Certificate of Recognition) sesuai STCW dengan negara-negara
asing yang yang sifatnya saling mengakui terkait pendidikan pelaut, sehingga
ijazah Indonesia diakui oleh semua negara yang mengakui konvesi IMO-STCW.
7. Peran
serikat pekerja pelaut yang memfasilitasi KKB sesuai MLC 2006 harus lebih nyata
sumbangsihnya bagi Pelaut.
8. Negara
hadir untuk membuat daftar serikat pekerja pelaut yang mana saja yang sudah
memenuhi persyaratan-persyaratan membuat KKB sesuai standar mutu yang baik,
dimana pihak industry perkapalan diluar sebagai user mendapatkan referensi yang tepat.
9. Harus
dipilah dan dibedakan proses dan mekanisme perekrutan pelaut ke luar negeri
dengan pelaut yang bekerja dalam negeri.
10. Harus
dipilah dan dibedakan proses dan mekanisme perekrutan pelaut kapal niaga dengan
pelaut perikanan ke luar negeri.
11. Segera
dibuatkan Undang-undang perlindungan profesi tenaga ahli bidang pelayaran
niaga, bersinergi dengan organisasi profesi terkait (bukan
serikat pekerja).
12. Kampanye
sosialisasi kode etik profesi tenaga ahli bidang pelayaran niaga diintensifkan
bersama-sama dengan Organisasi profesinya (bukan serikat pekerja).
13. Perhatian
dan fungsi kontrol dari DPR-RI Komisi-V juga berperan aktif dan interaktif atas
masukan masyarakat terkait kinerja pemerintah sector maritim.
14. Khusus
untuk pelaut-pelaut yang bekerja sebatas wilayah NKRI, agar dikawal dengan
harmonis ketenangan dan kenyamanan bekerjanya oleh aparat-aparat terkait
mengingat pelaut sedang berkontribusi untuk mendukung naiknya perekonomian
negara dari sektor maritime niaga.
Semoga bukan harapan hampa agar peran Pelaut yang
berkontribusi signifikan bagi pemasukan devisa negara dapat terus ditingkatkan
dengan budaya komunikasi interaksi diantara seluruh pemangku kepentingan
pengguna jasa profesi pelaut.