Catatan Aviorish, Ch Officer of SK Shipping (Perwira Pelayaran Niaga Indonesia)
"Sebagian besar kapal yang beroperasi di perairan Indonesia adalah kapal-kapal tua dengan umur di atas 8,5 tahun. Kapal-kapal tersebut itu pada umumnya dikelola oleh sumber daya manusia yang kualitas profesionalismenya rendah", demikian tercatat dalam LAPORAN AKHIR TIM ANALISIS EVALUASI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TENTANG YURISDIKSI DAN KOMPETENSI MAHKAMAH PELAYARAN, pimpinan PROF. DR. Hj. ETTY R. AGOES, S.H., LL.M
Faktanya IMO mencatat penyumbang kecelakaan kapal sebagai berikut; Kru & Nahkoda 80,9%, pemilik kapal (shipowner) 8,7%, syahbandar 1,8%, biro klasifikasi 3,1% dan pandu 5,5%. Di Indonesia sendiri 72% Kecelakaan kapal disebabkan oleh Human Error.
Prinsip keselamatan kapal berawal dari Kelaiklautan Kapal (Seawothiness) yang berarti keadaan kapal yang memenuhi persyaratan keselamatan kapal, pencegahan pencemaran perairan dari kapal, pengawakan, garis muat, pemuatan, kesejahteraan awak kapal dan kesehatan penumpang, status hukum kapal, manajemen keselamatan dan pencegahan pencemaran dari kapal, dan manajemen keamanan kapal untuk berlayar di perairan tertentu.(Pasal 1(33) UU 17/2008)
Penting dicatat adalah "Pengawakan". Kapal harus diawaki dengan kru yang professional dan kompeten. Pembentukan Sumber Daya kepelautan dipercayakan kepada Kementerian Perhubungan melaui BPSDMP dengan berbagai lembaga diklat di bawahnya atau yang diawasinya.
Seperti dikatakan Prof. Dr. Hj Etty, kelaiklautan kapal hanya berorientasi pada sertifikasi yang notabene hanya macan kertas saja. Sementara pengawasan dari pemerintah terhadap pelaksanaan dan pemenuhan persyaratan-persyaratan keselamatan pelayaran tidak konsisten. Termasuk konsistensi yang rendah dalam pembentukan pelaut yang berkualitas. Rendahnya kepercayaan publik terhadap pelaut Indonesia menjadi parameter kualitas produk BPSDMP. ICS dan BIMCO pernah mencatat pelaut Indonesia tidak termasuk 5 besar pelaut yang bekerja di atas kapal di dunia. Padahal Indonesia termasuk 3 besar penyuplai pelaut di dunia. Artinya kepercayaan industri sangat rendah. Bagaimana mungkin, misalnya, AMSA bisa percaya dengan lembaga Diklat jika mengeluarkan sertifikat diklat pada rentang tertentu padahal orangnya sedang berlayar?. Ini kejadian di lembaga pendidikan di bawah BPSDMP dan fakta ini telah sampai langsung kepada ketua BPSMP juga ketua lembaga diklat di bilangan Jakarta tersebut.
Upaya kuratif terhadap banyaknya kecelakaan kapal salah satunya dengan pembentukan Mahkamah Pelayaran. Lembaga ini dibentuk berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), UU No 17 Tahun 2008 tentang Palayaran, PP No 9 Tahun 2019 tentang Pemeriksaan Kecelakaan Kapal, hingga Permenhub No 6 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pemeriksaan Kecelakaan Kapal. Mahkamah Pelayaran berada di bawah dan bertanggung jawab kepada menteri.
Meskipun Mahkamah Pelayaran memiliki sejarah yang panjang sejak Ordonantie op de Raad voor de Scheepvaart (Staatsblad 1934 No. 215) yang mulai berlaku pada tanggal 1 April 1938, tetapi yurisdiksi dan kompetensi Mahkamah Pelayaran sangat terbatas pada pemeriksaan kecelakaan sebagai lanjutan dari pemeriksaan awal oleh syahbandar. Produknya hanya berupa rekomendasi kepada Menteri Perhubungan untuk tindakan administratif yang perlu diambil. Peni Pudji Turyani, M.H., Mantan Ketua Mahkamah Pelayaran mengatakan, kecelakaan pelayaran yang dapat diperiksa terbatas pada empat jenis; yaitu manakala kapal tenggelam, terbakar, mengalami tubrukan, atau kandas. Ini sesuai dengan pasal 2(1) PP 9/2019.
Istilah "Mahkamah" memberi kesan yang berlebihan bagi insan pelayaran seolah lembaga ini memiliki kekuasaan hukum. Banyak yang menyangka berbagai macam kasus di dunia pelayaran dapat diselesaikan di lembaga ini. Misalnya, banyak pelaut menyangka persengketaan kontrak, charter, asuransi dan polusi dapat diselesaikan di sini, padahal tidak. Fungsinya terbatas pada;
a. meneliti sebab kecelakaan kapal dan menentukan ada atau tidak adanya kesalahan atau kelalaian dalam penerapan standar profesi kepelautan yang dilakukan oleh Nakhoda dan/atau perwira kapal atas terjadinya kecelakaan kapal; dan
b. Merekomendasikan kepada Menteri mengenai pengenaan sanksi administratif atas kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh nakhoda dan/atau perwira kapal.
Meskipun putusan Mahkamah Pelayaran dapat dijadikan bahan pertimbangan hakim di pengadilan yudikatif, ini belum cukup. Sebagai negara maritim terbesar di dunia, Indonesia sudah saatnya memiliki lembaga peradilan maritm (Maritime Court) yang Independen yang memiliki kekuasaan kehakiman seperti halnya Admiralty Court di Inggris. Berbeda dengan Indonesia, pengadilan maritim menangani hampir seluruh permasalahan dibidang maritim, antara lain kecelakaan kapal, sengketa mengenai transportasi muatan, penahanan kapal (ship arrest), kapal karam, permasalahan mengenai barang muatan, hak gadai atas kapal, gugatan atas penumpang yang terluka, ketenagakerjaan kru kapal, hingga pembelaan pemilik kapal untuk membatasi tanggung jawab (liability) yang harus dibayar. Ada dua jenis gugatan yang dapat diajukan, yakni gugatan in personam (gugatan yang diajukan untuk pemilik kapal) dan gugatan in rem (gugatan yang diajukan atas kapal itu sendiri). Tidak hanya memiliki kewenangan atas permasalahan kapal, persoalan kargo dan bentuk moda transportasi lainnya dapat dibawa kehadapan maritime court.
Selamat bagi Anggota Panel Ahli Mahkamah Pelayaran yang telah dilatik 03 Desember lalu.