Komentar
Dalam beberapa hari terakhir ada berita di mana 3 buah tongkang (Gold Trans 32, Al Faruqi 01, Bina Sarana 88) dilepas oleh kapal tundanya yang mengalami cuaca buruk dan terkendala dengan mesin kapal. Jika kita lihat dari kacamata ilmu pelayaran yang baik maka kita bisa mengambil dua catatan dari kejadian tersebut.
Hal pertama adalah mengenai overriding authority dari seorang nakhoda yang ingin menyelamatkan ABK dan kapalnya sehingga keputusan melepas tongkang dibelakangnya adalah satu-satunya pilihan untuk tetap selamat. Nakhoda tidak bersalah jika dilihat dari aspek tanggung jawab dan pemilihan prioritas keselamatan.
Hal kedua adalah masalah kemampuan kapal tunda dalam menarik beban tongkang dibelakangnya. Jika kita kaji dari aspek teknis yang lebih mendalam, hal ini menggambarkan masih lemahnya pemahaman pemilik muatan, perusahaan pelayaran dan asuransi dalam mengerti perbandingan kekuatan bollard pull dari kapal tunda berbanding dengan displacement dari tongkang yang ditarik nya.
Rata-rata kapal tunda penarik tongkang di Indonesia bermesin 2000-2400 HP dengan ukuran tongkang 300-330 feet (91-100 meter) berbobot sekitar 9.000-10.000 ton displacement. Rangkaian ini menjadi sangat rentan apabila kapal berlayar di laut lepas dan menghadapi gelombang yang cukup tinggi sehingga kapal tidak mempunyai laju dan hanya terombang-ambing mengikuti terpaan ombak.
Pemahaman mengenai hal ini sangat penting untuk perusahaan pelayaran, perusahaan asuransi dan pemilik muatan agar ketetapan mengenai kemampuan bollard pull berbanding dengan displacement tongkang dibelakangnya diatur dengan baik sesuai dengan kaidah umum yang dipakai di dunia pelayaran. Ini menjadi perlu agar keselamatan dan keamanan pelayaran serta perlindungan lingkungan maritim tetap menjadi prioritas utama dibidang pelayaran niaga.
Bagaimana menghitungnya, silahkan buka tautan eMaritim yang dipublish tahun 2017 dibawah ini;
