eMaritim.com – Di dalam bisnis
pelayaran, selain keuntungan juga
meliputi keselamatan yang diperlukan dalam melindungi aset dan nama baik
negara. Selain adanya peraturan menteri perhubungan, SOLAS, STCW, MARPOL dan undang-undang
pelayaran diperlukan juga aspek standarisasi keselamatan pelayaran berbendera dalam
negeri dengan cakupan yang luas. Aturan Non
Convention Vessel Standard (NCVS) untuk lebih meningkatkan aspek keselamatan
transportasi laut nasional.
Menyikapi hal tersebut, pemerintah Indonesia bukannya menggunakan kesempatan itu guna mengembangkan dunia pelayarannya, tetapi malah membebani industri pelayaran di Indonesia dengan aturan setinggi langit yang bahkan IMO saja tidak memberlakukannya. Di Indonesia hal ini dikenal sebagai kearifan lokal, tapi dengan maksud yang masih belum jelas.
Beberapa contoh aturan yang diberlakukan di Indonesia yang jauh diatas standar IMO diantaranya adalah;
1. Asuransi Wreck Removal bagi kapal Indonesia yang berukuran 35 GT keatas yang dituangkan dalam SE Dirjen HUBLA nomor HK 103/2/20/DJPL-14, sementara IMO hanya mewajibkan bagi kapal berukuran 300 GT keatas.
Pelaksanaan dari aturan ini sebenarnya masih amburadul, contoh yang paling mudah adalah masih banyaknya bangkai kapal di daerah-daerah ramai yang dibiarkan tidak diurus, yang jika memang kapal tersebut memiliki asuransi wreck removal sudah pasti harus disingkirkan dengan biaya dari perusahaan asuransi. Di Banjarmasin saja, tepatnya didepan terminal peti kemas pelabuhan Trisakti masih ada bangkai kapal yang sudah lebih 1 tahun tidak diangkat dan dibiarkan begitu saja. Siapa yang lalai dalam hal ini ? Sementara akibat aturan ini, banyak kapal pelayaran rakyat yang harus membeli asuransi wreck removal yang tentunya menyenangkan pihak asuransi.
2. Kewajiban didalam Peraturan Menteri Perhubungan nomor 71, tentang batas kedalaman air untuk penyingkiran bangkai kapal sedalam maksimal 100 meter. Dimana Konvensi IMO (Nairobi) hanya mengharuskan untuk mengangkat jika bangkai kapal ada dikedalaman yang dianggap menggangu keselamatan pelayaran.
PM ini memiliki kejanggalan pada pasal 9 dan 10 yang bertolak belakang, dimana ada pembebasan pengangkatan jika hasil evaluasi tidak dianggap mengganggu pelayaran. Pasal 10 itu bisa dipakai sebagai klausul pembebasan perusahaan asuransi dari kewajibannya, setelah menikmati premi dari pemilik kapal.
Padahal semua tahu, mengangkat kapal di kedalaman 99 meter adalah hal yang sulit dan mahal. Dan kenyataannya banyak kapal yang tenggelam di kedalaman dibawah 80 meter bahkan dibawah 40 meter dibiarkan tidak diangkat. Asuransi tentu senang menerima premi tanpa harus melakukan kewajibannya, siapa yang lalai dalam hal ini ?
3. Peraturan Menteri Perhubungan nomor 29 tentang Pencegahan Pencemaran Lingkungan Maritim. Kapal Indonesia wajib memiliki jaminan pencemaran limbah, atau dikenal sebagai CLC Blue Card bagi kapal tanker yang mengangkut minyak 150-2000 ton dan Bunker Blue Card bagi kapal ukuran 100-1000 GT. Sementara IMO lewat konvensi Civil Liability and Oil Pollution tahun 2001 hanya mewajibkan bagi kapal tanker berukuran 2000 ton keatas dan kapal yang memiliki bunker dengan ukuran diatas 1000 GT. Aturan Menteri ini seperti aturan sapu jagad, karena kapal ukuran 100 GT pun diharuskan memiliki jaminan tersebut. Untuk diketahui bahwa ukuran kapal 100 GT pada dunia pelayaran adalah kapal kecil yang hanya memiliki tangki sebesar 30 m3, jauh dibawah ketentuan IMO dalam hal ini. Asuransi tentu senang dengan aturan ini, karena jumlah kapal ukuran diatas 100 GT ada puluhan ribu di Indonesia.
Hal yang dilupakan pemerintah adalah, aturan-aturan baru yang diluar batas kewajaran dunia Intenasional tersebut malah menciptakan ruang untuk pungli, pemerasan, dan penahanan kapal-kapal Indonesia di rumahnya sendiri. Kapal-kapal Indonesia dan pelautnya sering dijadikan sasaran empuk oleh oknum-oknum aparat yang sering mencari celah untuk memperkaya diri dilaut Indonesia yang lebih ganas dari Laut Atlantik Utara dimusim dingin, yang dalam plimsol mark ditandai dengan notasi WNA (Winter North Atlantic).
Ketidak pahaman Kementerian Perhubungan pada fungsi utama kapal sebagai efek pengganda kemajuan ekonomi nasional, kelak akan menenggelamkan semua kapal berbendera merah putih yang keberatan dengan aturan. Pendapat banyak ahli maritim yang mengharapkan dibentuknya Kementerian Maritim lebih seperti sinyal SOS untuk menyelamatkan dunia maritim Indonesia. Karena itu hanya satu dari banyak masalah utama dunia maritim Indonesia seperti penegakan aturan di laut, tidak adanya Undang Undang Maritim yang lebih luas dari Undang Undang Pelayaran, sampai masih tidak pahamnya masyarakat Indonesia membedakan antara nelayan dan pelaut, dan hal hal fundamental lainnya.
Oleh : Capt Zaenal A. Hasibuan
Ada beberapa penggiat keselamatan pelayaran yang selalu bersuara agar NCVS dapat
diterapkan di dalam negeri, yakni anggota INSA, Gapasdap, PELRA, Kadin Jawa
Timu, dan laiinya. Dalam acara yang digelar di Surabaya juga membahas agar dibuat Pakta Integritas dengan seluruh
pemangku kepentingan, agar Surabaya dijadikan Pilot Projek pemberlakuan NCVS
untuk kapal-kapal rute lokal surabaya- Banyuwangi atau rute rute dekat lainnnya.
Dalam pertemuan dengan jumlah peserta terbatas ini, protokol Covd-19 tetap
dijalankan dengan baik, dengan menggunakan Masker, Face Shield, Hand Sanitizer,
Badan di Semprot di infectan, Duduk dengan jarak Self Distancing.
NCVS merupakan aturan yang
dikeluarkan masing-masing negara dalam mengatur standarisasi keselamatan
pelayaran bendera kapal dengan cakupan yang cukup luas, mulai dari konstruksi
kapal hingga pada pengawakan kapal. Aturan ini ditujukkan bagi kapal-kapal
berbobot di bawah 500 GT yang melakukan kegiatan pelayaran domestik.
Termasuk juga kapal dengan kriteria yang digerakkan tenaga mekanis, kapal kayu,
kapal penangkap ikan, dan kapal pesiar.
NCVS Tonggak Kokoh Pilar Pelayaran Nasional
kapal kapal Indonesia terancam
tenggelam ke dasar laut karena terlalu berat dibebani regulasi oleh pemerintah
Indonesia. Sebagai negara anggota International Maritime
Organization (IMO), Indonesia memang harus konsekuen
melaksanakan puluhan konvensi yang sudah ditetapkan oleh badan dunia yang
mengatur pelayaran niaga tersebut, dengan 3 pilar utama konvensi IMO adalah
SOLAS, STCW dan MARPOL.
Sebagai badan yang mengatur negara-negara dari berbagai tingkatan ekonomi dan kekhususan geografinya, IMO juga memberikan kearifan kepada negara anggotanya yang memiliki kapal dengan ukuran dibawah 300 GT dan kapal-kapal yang berlayar hanya didalam negerinya saja. Kearifan IMO ini diwujudkan dalam bentuk standarisasi Kapal-kapal Non Konvensi (NCVS) yang pengaturannya diserahkan kepada masing-masing anggotanya, maksud dari hal ini adalah agar para anggota tidak dibebani oleh kebijakan IMO yang selalu mengambil standarisasi kapal pada keadaan paling ekstrim, yaitu di Winter North Atlantic (WNA) sebagai acuan keadaan laut dan musim yang paling ganas bagi kapal-kapal yang berlayar.
Sebagai badan yang mengatur negara-negara dari berbagai tingkatan ekonomi dan kekhususan geografinya, IMO juga memberikan kearifan kepada negara anggotanya yang memiliki kapal dengan ukuran dibawah 300 GT dan kapal-kapal yang berlayar hanya didalam negerinya saja. Kearifan IMO ini diwujudkan dalam bentuk standarisasi Kapal-kapal Non Konvensi (NCVS) yang pengaturannya diserahkan kepada masing-masing anggotanya, maksud dari hal ini adalah agar para anggota tidak dibebani oleh kebijakan IMO yang selalu mengambil standarisasi kapal pada keadaan paling ekstrim, yaitu di Winter North Atlantic (WNA) sebagai acuan keadaan laut dan musim yang paling ganas bagi kapal-kapal yang berlayar.
Menyikapi hal tersebut, pemerintah Indonesia bukannya menggunakan kesempatan itu guna mengembangkan dunia pelayarannya, tetapi malah membebani industri pelayaran di Indonesia dengan aturan setinggi langit yang bahkan IMO saja tidak memberlakukannya. Di Indonesia hal ini dikenal sebagai kearifan lokal, tapi dengan maksud yang masih belum jelas.
Beberapa contoh aturan yang diberlakukan di Indonesia yang jauh diatas standar IMO diantaranya adalah;
1. Asuransi Wreck Removal bagi kapal Indonesia yang berukuran 35 GT keatas yang dituangkan dalam SE Dirjen HUBLA nomor HK 103/2/20/DJPL-14, sementara IMO hanya mewajibkan bagi kapal berukuran 300 GT keatas.
Pelaksanaan dari aturan ini sebenarnya masih amburadul, contoh yang paling mudah adalah masih banyaknya bangkai kapal di daerah-daerah ramai yang dibiarkan tidak diurus, yang jika memang kapal tersebut memiliki asuransi wreck removal sudah pasti harus disingkirkan dengan biaya dari perusahaan asuransi. Di Banjarmasin saja, tepatnya didepan terminal peti kemas pelabuhan Trisakti masih ada bangkai kapal yang sudah lebih 1 tahun tidak diangkat dan dibiarkan begitu saja. Siapa yang lalai dalam hal ini ? Sementara akibat aturan ini, banyak kapal pelayaran rakyat yang harus membeli asuransi wreck removal yang tentunya menyenangkan pihak asuransi.
2. Kewajiban didalam Peraturan Menteri Perhubungan nomor 71, tentang batas kedalaman air untuk penyingkiran bangkai kapal sedalam maksimal 100 meter. Dimana Konvensi IMO (Nairobi) hanya mengharuskan untuk mengangkat jika bangkai kapal ada dikedalaman yang dianggap menggangu keselamatan pelayaran.
PM ini memiliki kejanggalan pada pasal 9 dan 10 yang bertolak belakang, dimana ada pembebasan pengangkatan jika hasil evaluasi tidak dianggap mengganggu pelayaran. Pasal 10 itu bisa dipakai sebagai klausul pembebasan perusahaan asuransi dari kewajibannya, setelah menikmati premi dari pemilik kapal.
Padahal semua tahu, mengangkat kapal di kedalaman 99 meter adalah hal yang sulit dan mahal. Dan kenyataannya banyak kapal yang tenggelam di kedalaman dibawah 80 meter bahkan dibawah 40 meter dibiarkan tidak diangkat. Asuransi tentu senang menerima premi tanpa harus melakukan kewajibannya, siapa yang lalai dalam hal ini ?
3. Peraturan Menteri Perhubungan nomor 29 tentang Pencegahan Pencemaran Lingkungan Maritim. Kapal Indonesia wajib memiliki jaminan pencemaran limbah, atau dikenal sebagai CLC Blue Card bagi kapal tanker yang mengangkut minyak 150-2000 ton dan Bunker Blue Card bagi kapal ukuran 100-1000 GT. Sementara IMO lewat konvensi Civil Liability and Oil Pollution tahun 2001 hanya mewajibkan bagi kapal tanker berukuran 2000 ton keatas dan kapal yang memiliki bunker dengan ukuran diatas 1000 GT. Aturan Menteri ini seperti aturan sapu jagad, karena kapal ukuran 100 GT pun diharuskan memiliki jaminan tersebut. Untuk diketahui bahwa ukuran kapal 100 GT pada dunia pelayaran adalah kapal kecil yang hanya memiliki tangki sebesar 30 m3, jauh dibawah ketentuan IMO dalam hal ini. Asuransi tentu senang dengan aturan ini, karena jumlah kapal ukuran diatas 100 GT ada puluhan ribu di Indonesia.
4.
Peraturan Menteri Perhubungan nomor 7 tahun 2019 tentang Kewajiban memiliki AIS
type B bagi kapal berbobot 35 GT keatas, dimana IMO hanya mewajibkan bagi kapal
penumpang dan kapal barang berukuran 300 GT keatas. Artinya akan banyak kapal
Pelayaran Rakyat harus membeli peralatan tersebut, karena jika tidak maka tidak
akan diperbolehkan berlayar. Bahkan kesalahan input data atau malfunction alat tersebut bisa mengakibatkan
pelaut dicabut Certificate Of Endorsement nya.
Pedagang AIS senang, karena ancaman salah menggunakan alatnya saja bisa sampai
mencabut sertifikat pelaut yang didapat dengan sekolah yang lama dan biaya
mahal.
Contoh aturan-aturan diatas adalah bentuk ketidak pahaman pemerintah Indonesia dalam usahanya memajukan dunia pelayaran, padahal pemerintah sendiri bercita-cita ingin menjadi poros maritim dunia. Industri pelayaran dan kepelautan di Indonesia terlalu sibuk mengurus aturan-aturan baru yang datang silih berganti, sehingga waktu mengatur kapal dan kualitas SDM nya jadi terlewatkan.
Contoh aturan-aturan diatas adalah bentuk ketidak pahaman pemerintah Indonesia dalam usahanya memajukan dunia pelayaran, padahal pemerintah sendiri bercita-cita ingin menjadi poros maritim dunia. Industri pelayaran dan kepelautan di Indonesia terlalu sibuk mengurus aturan-aturan baru yang datang silih berganti, sehingga waktu mengatur kapal dan kualitas SDM nya jadi terlewatkan.
Hal yang dilupakan pemerintah adalah, aturan-aturan baru yang diluar batas kewajaran dunia Intenasional tersebut malah menciptakan ruang untuk pungli, pemerasan, dan penahanan kapal-kapal Indonesia di rumahnya sendiri. Kapal-kapal Indonesia dan pelautnya sering dijadikan sasaran empuk oleh oknum-oknum aparat yang sering mencari celah untuk memperkaya diri dilaut Indonesia yang lebih ganas dari Laut Atlantik Utara dimusim dingin, yang dalam plimsol mark ditandai dengan notasi WNA (Winter North Atlantic).
Ketidak pahaman Kementerian Perhubungan pada fungsi utama kapal sebagai efek pengganda kemajuan ekonomi nasional, kelak akan menenggelamkan semua kapal berbendera merah putih yang keberatan dengan aturan. Pendapat banyak ahli maritim yang mengharapkan dibentuknya Kementerian Maritim lebih seperti sinyal SOS untuk menyelamatkan dunia maritim Indonesia. Karena itu hanya satu dari banyak masalah utama dunia maritim Indonesia seperti penegakan aturan di laut, tidak adanya Undang Undang Maritim yang lebih luas dari Undang Undang Pelayaran, sampai masih tidak pahamnya masyarakat Indonesia membedakan antara nelayan dan pelaut, dan hal hal fundamental lainnya.