Dengan dikelilingi laut yang super melimpah hampir 8 juta km persegi, Indonesia bisa merasa bangga
sebagai negara kuat dalam dunia maritim, Ya itu dulu!!!, dengan gagahnya nenek
moyang kita mengajarkan berlaut di masa kerajaan sebelum penjajah masuk di
Negeri ini.
Mungkin kita
yang mengaku sebagai Bangsa Maritim kini harus malu dan melakukan interospeksi
atas “Blue Print Maritime” di
Indonesia. Dengan jumlah pulau
17.504 dan luas lautan mencapai 7,81 juta km2 harusnya sektor maritim menjadi
raja dan pendorong bagi tumbuh kembangnya sektor ekonomi.
Dengan melihat
jumlah pulau yang sangat banyak, terbayang betapa besar potensi transportasi
laut handal yang dibutuhkan guna menopang sendi ekonomi Negara ini. Puluhan
ribu kapal besar dan kecil dibutuhkan sekali keberadaanya dalam menyalurkan
pemerataan komoditas yang di butuhkan masyarakat antar pulau itu, puluhan ribu
pelabuhan besar dan kecil juga kebutuhan mutlak yang harus ada guna melayani
pergerakan kapal dan perputaran arus barang.
Begitupun dengan
melihat luasnya lautan kita yang hampir 8juta km persegi itu, terbayang
besarnya potensi sumberdaya alam yang di kandung lautan, seperti perikanan dan sumberdaya mineral. Semuanya
itu membutuhkan dukungan transportasi laut yang handal dan mencukupi.
Sayangnya kita seperti bergerak menuju cerita “Petani
mati dilumbung padi”, tanpa disadari.
Asas
Cabotage
Asas cabotage misalnya yang menjadi
prinsip memberi hak eksklusif kegiatan angkutan barang dan orang dalam negeri oleh perusahaan angkutan
laut nasional dengan menggunakan bendera Merah Putih serta awak kapal
berkewarganegaraan Indonesia, sebagaimana termaktub dalam UU no.17/2008.
Akhir-akhir ini banyak pihak yang menggaungkan untuk di di revisi, Padahal dari
data Indonesian National Shipowner’s Asociation (INSA) yang dikutip,
disebutkan, penerapan Asas Cabotage yang didukung para pelaku usaha pelayaran
nasional telah mendorong investasi sektor angkutan laut. Pada 2017, armada
pelayaran nasional mencapai 23.823 atau melonjak dari sejak awal diterapkannya
Asas Cabotage pada 2005 yang hanya berkisar 6.041 armada.
Hal ini juga
diiringi dengan pertumbuhan perusahaan pelayaran nasional yang pada 2017 telah
mencapai 3.760 perusahaan. Trend positif ini ternyata masih dinilai kurang oleh
pihak tertentu, atau patut diduga
dijadikan alibi untuk meng-goal kan
pesanan tertentu yang ingin menancapkan kuku bisnisnya di sektor transportasi maritim
nasional kita.
Beragam alasan
disampaikan, seperti penggambaran pelayaran nasional seolah tidak mencukupi dan
tidak mampu mengangkut volume yang besar.
Jikapun alasan
itu benar, maka harusnya perusahaan pelayaran local diberikan stimulus dan
kemudahan untuk menambah armada dan pergerakannya. Bukan malah ketidakmampuan
di hantam dengan ombak investasi asing yang jelas memiliki kemampuan dan
dukungan financial besar. Jika ini
terjadi maka sama halnya mengadu anak SMP yang sedang tumbuh dan tengah dapat
pendidikan dengan lulusan Harvard, pelayaran nasional akan binasa.
Harusnya
perusahaan pelayaran di ajak duduk bersama oleh pemerintah, guna terus
meng-eksplore potensi tumbuh kembang
serta bersama mengatasi kendala yang mungkin ada.
Pemerintah wajib
mewaspadai proyek komisi alias pemburu rente oleh pihak tertentu dengan dalih
Investasi asing di sektor maritime.
Lalu bagaimana
dengan sektor Pelabuhan ? Pertumbuhan dan peremajaan pelabuhan serta terminal petikemas akhir-akhir ini meningkat
dengan signifikan, sebut saja pembangunan NPCT ( New Priok Container Terminal
),Terminal Petikemas Teluk Lamong, Pembanguan Pelabuhan Patimbang yang tengah
berjalan, termila petikemas belawan next fase, dan lainnya.
Pertumbuhan ini
sejatinya angin segar bagi kelancaran arus ekspor impor dan transportasi laut
kita.
Tetapi,
benarkah demikian ?
Mari kita
kembali melakukan interospeksi atas “blue print system transportasi laut” kita,
itu pun jika ada. Karena jika kita boleh
bicara jujur, maka kita akan menuju fase “ Killing Other”, dengan tidak adanya
kebijakan pertimbangan dan pengaturan pembangunan terminal petikemas.
Semua pihak
merasa boleh dan berhak mendirikan terminal petimas untuk melayani ekspor impor
akibatnya terminal petikemas baru tumbuh dan berdiri berjarak hanya beberapa
mil atau meter dari terminal petikemas
internasional yang sudah ada dan beroperasi.
Beragam argument
disampaikan guna membenarkan pembangunan ini, seperti alasan mengantisipasi pertumbuhan arus ekspor
impor yang akan melonjak, kenyataan malah arus perdagangan menurun
drastis.
Terminal
Petikemas yang ada sejatinya juga belum maksimal menampung arus petikemas, kita
ambil contoh saja JICT ( Jakarta
International Container Terminal ) sejatinya mampu menangani hingga 3,5 juta
Teus dan saat ini baru meng-handle 2,2 juta Teus pertahunnya.
Belum lagi
terminal lain disekitarnya, seperti terminal
container yang di transformasikan eks terminal konvensional di Tanjung Priok.
Semua bermain di bongkar muat petikemas ekspor impor yang sama.
Pemerintah juga
dinilai lambat dan tidak berani mengeluarkan kebijakan untuk mengatur titik
berdirinya terminal petikemas.
Kini terminal
Patimbang yang tengah dibangun diproyeksi akan mampu menangani 3,5 juta Teus
namun posisinya berada di kekuatan hinterland yang sama dengan pelabuhan
Tanjung Priok. Akibatnya nanti terminal-terminal
petikemas dengan kapasitas besar tidak
akan meng-handle petikemas dengan jumlah besar secara optimal sesuai
kapasitasnya.
Aksi saling
bunuh dalam persaingan di khawatirkan akan terjadi antar terminal petikemas,
bukan lagi dengan sekedar meningkatkan kualitas pelayanan.
Perang tariff, diskon atau prilaku bisnis saling mematikan sangat mungkin
tercipta dimasa depan.
Hal ini terjadi
karena industry local juga tidak di berdayakan secara maksimal, Pemerintah
dalam hal ini seharusnya melihat jumlah penduduk Indonesia yang besar sebagai
potensial market bagi Indonesia dengan membangun industry yang memenuhi
kebutuhan masyarakat sendiri. Bukan malah membuka kran produk asing
sebesar-besarnya, dan menjadikan masyarakat kita konsumtif produk asing karena
prodk local tidak ada, tidak mencukupi dan tidak berkembang.
Lambatnya
perkembangan industry local mengakibatkan pelayaran local juga menjadi lesu,
karena produk asing yang masuk pasti menggunakan kapal bendera asing.
Kembali, kita
mengingatkan Pemerintah dan Pengambil kebijakan Negara untuk melakukan evaluasi
atas langkah dan kebijakan yang diambil serta akan diambil guna menyelamatkan
“Blue Print” transportasi laut dan maritim kita.
Kejayaan
transportasi laut adalah kejayaan maritim juga memperkokoh kejayaan serta kedaulatan
Bangsa dan Negara Indonesia. Bersih-bersih dilingkungan regulator dari pihak yang berdalih serta meneriakkan
investasi pembangunan sektor transportasi laut padahal mungkin jadi project
mafia pemburu rente dan komisi dari pihak tertentu. Hal ini malah bisa
menjatuhkan kejayaan maritim Bangsa ini, kelak….bukan lagi kemunduran, tetapi
lonceng kematian sektor transportasi laut.
Jayalah Bangsa
ku,
Jayalah
Indonesiaku,
Oleh: SU39