Jakarta, eMaritim.com - UU no.17/2008 pasal 8 ayat 1 : Asas cabotage menegaskan bahwa angkutan laut dalam negeri menggunakan kapal berbendera merah putih, dan diawaki oleh awak berkebangsaan Indonesia.
Ayat 2 : Kapal asing dilarang
mengangkut penumpang dan/atau barang antarpulau atau antarpelabuhan di wilayah
perairan Indonesia.
Sehingga
dapat diartikan bahwa asas cabotage adalah sebagai kedaulatan Negara dan
tentunya dimaksudkan juga untuk menjaga kedaulatan Negara dari aspek keamanan
pertahanan Negara.
Dengan demikian sebagaimana di
katakan oleh Direktur Lalu Lintas Laut Kemenhub Wisnu Handoko (bisnis Indonesia
14 agustus 2019), Asas cabotage tetap diperlukan tetapi dengan tetap mengedepankan
penyeimbang terhadap investasi asing, termasuk membawa pengetahuan yang membawa
tambahan pengetahuan dan dapat meningkatkan daya saing angkutan laut.
Menurut Wisnu Handoko, jika
investasi asing terlalu dibatasi, sektor pelayaran nasional sulit berkembang
sehingga harus dibuat penyeimbang.
Pernyataan tersebut tentunya perlu
di waspadai, karena ini seperti hal nya mengijinkan insvestasi asing didalam
kepemilikan angkutan bis Antar Kota
Antar Provinsi (AKAP) apa bedanya ? lalu bagaimana dengan keamanan dan
kedaulatan Negara ?
Pemerintah harus melihat kembali dan
menyamakan Pola pikir POROS MARITIM UNTUK KEMAKMURAN BANGSA, bahwa didalam
membangun infrastruktur Negara kepulauan , laut tidak boleh dianggap sebagai
pemisah.
Pemerintah selayaknya bersyukur
terhadap pengusaha Pelayaran Nasional , bahwa didalam ketidak berpihakan
terhadap Pelayaran Nasional , perusahaan Pelayaran Nasional tetap tumbuh dengan
jumlah ditahun 2019 , kapal Roll on Roll off 250, Kapal Perintis 260, Kapal
Pelayaran rakyat 3.000 dan Kapal Niaga 14.300 kapal.
Opini oleh:
Oggy Hargiyanto
Sekjen DPP APBMI periode 2013-2016
Wakil Ketua Umum DPP APBMI periode
2016 - 2021
Sekjen CAAIP periode 2015-2020
Ketua Team Kerja Poros Maritim (TKPM)
Anggota Ikatan Perwira Pelayaran
Niaga Indonesia (IKPPNI)
sumber lain: Tulisan OBOR oleh Muhammad Fahrulrozzi Iriansyah