Jakarta, eMaritim.com – Sedang gencarnya pemerintah sosialisasikan AIS (Automatic Identification System) kepada masyarakat maritim khususnya dalam hal ini pelaku usaha pelayaran, dinilai harus melihat kondisi bisnis riil pelayaran nasional di lapangan.
Pengamat maritim dan Direktur Namarin Institut Siswanto
Rusdi mengatakan, penerapan AIS itu
baik, tapi Pemerintah Indonesia tetap harus bijak dan melihat kondisi riil di
lapangan. “Jangan sampai memberatkan bahkan membuat kinerja usaha pelayaran
makin kacau bahkan bangkrut,” tuturnya.
"Sesuai aturan IMO, AIS itu diwajibkan pada kapal-kapal
ocean going atau berlayar ke luar negeri. Sementara, di Ditjen Hubla
justru diperluas sampai kapal-kapal kecil 15-30 GT bahkan kapal-kapal
ikan," kata Siswato di Jakarta, Kamis (25/7/2019).
Jika kebijakan itu diterapkan secara ketat, Namarin khawatir
justru bisa memberatkan dunia usaha
khususnya perusahaan pelayaran di Tanah Air. "Bagi mereka yang modalnya
kecil, tentu tidak mudah membeli peralatan AIS seharga Rp9 juta sampai Rp15
juta/ unit. Sementara, fakta saat ini masih banyak kapal yang belum
dilengkapi radio yang nota bene lebih murah harganya," sebut Siswanto
lagi.
Menurut akademisi Universitas YAI Jakarta itu, bagi
perusahaan kecil atau kapal-kapal ikan, bisa jadi tidak realistis jika harga
memasang AIS. Pasalnya, harga peralatan AIS justru lebih mahal dibandingkan
harga kapalnya. "Aneh kalau di lapangan yang terjadi justru seperti
ini," papar Siswanto.
Oleh karena itu, Namarin mengusulkan agar AIS diterapkan
secara bijak. menegakkan aturan keselamatan pelayaran itu mutlak harus
dilakukan. Tapi tidak harus dengan menerapkan atau mengaplikasikan AIS yang
mahal harganya itu.
"AIS itu hanya satu interumen navigasi pelayaran di kapal. Jika tujuannya untuk
menghindari terjadinya tubrukan kapal besar dan kapal kecil di laut. Jika itu
ingin menghindari tabrakan, maka bisa dengan mengoptimalkan fungsi kompas,
radar dan lainnya," terang Siswanto.
Selanjutnya, menurut
dia, bisa dengan mengoptimalkan crew kapal sesuai jam jaga mereka. Apalagi,
untuk mendeteksi posisi kapal lait bsa dengan teropong bahkan penglihatan secara
visual. Dengan optimalisasi alat dan SDM
di kapal, maka keselamatan pelayaran bisa dioptimalkan.
"Dan yang pasti, perlu dilakukan optimalisasi peran
Syahbandar di Pelabuhan. Sebelum surat persetujuan berlayar (SPB) diterbitkan, mereka mengecek dan memastikan semua alat dan
fungsi di kapal tetap dalam kondisi prima," tegas Siswanto.
Aktif Sosialisasi AIS
Seperti informasi pemberitaan sebelumnya Kementerian
Perhubungan cq. Direktorat Jenderal Perhubungan Laut (Hubla) melalui Distrik
Navigasi Kelas I Belawan mengadakan sosialisasi Peraturan Menteri Perhubungan
Nomor PM.7 Tahun 2019 Tentang Pemasangan dan Pengaktifan Sistem Identifikasi
Otomatis (Automatic Identification System/AIS) bagi kapal yang belayar di
wilayah Perairan Indonesia.
"Sosialisasi AIS
digelar di Terminal Penumpang Bandar Deli, Belawan, Aumatera Utara,
kemarin.Langkah itu dilakukan dalam rangka optimalisasi fungsi layanan
Telekomunikasi Pelayaran Ditjen Perhubungan Laut terkait pemberian informasi
kenavigasian guna menunjang keselamatan pelayaran," sebut ditjen hubla di
Jakarta.
Seperti diketahui,
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM. 7 Tahun 2019 ini mengatur
tentang Pemasangan dan Pengaktifan Sistem Identifikasi Otomatis (AIS) bagi
Kapal yang Berlayar di Wilayah Perairan Indonesia serta pengawasan pengaktifan
AIS tersebut, yang akan diberlakukan secara efektif pada tanggal 20 Agustus
2019.
"Dengan diberlakukannya Peraturan Menteri tersebut,
maka seluruh kapal berbendera Indonesia serta Kapal Asing yang berlayar di
Perairan Indonesia wajib untuk memasang dan mengaktifkan AIS serta berkewajiban
memberikan informasi yang benar," ujar Abdul Aziz di Medan Kamis
(25/7/2019).
Oleh karena itu, menjlang penerapan aplikasi AIS itu semua
pihak terkait khususnya perusahaan pelayaran tahu dan paham begitu mengenai
aturan ini. Tujuannya adalah meningkatkan keselamatan pelayaran.