Jakarta, eMaritim.com – Menteri Perhubungan telah menerbitkan aturan mengenai kapal minimal GT 35 wajib memasang dan mengaktifkan Sitem Identifikasi Otomatis atau Automatic Identification System (AIS).
Kewajiban tersebut diatur dalam Peraturan Menteri
Perhubungan Nomor PM 7 Tahun 2019 tentang Pemasangan dan Pengaktifan Sistem
Identifikasi Otomatis Bagi Kapal yang Berlayar di Wilayah Perairan Indonesia
tertanggal 20 Februari 2019. Selanjutnya, Peraturan Menteri ini mulai berlaku
setelah enam bulan terhitung sejak tanggal diundangkan.
Direktur Kenavigasian Basar Antonius menuturkan, Peraturan
Menteri ini mengatur mengenai pemasangan dan pengaktifan AIS pada kapal
berbendera Indonesia dan pengawasan pengaktifan AIS pada kapal asing yang
berlayar di wilayah perairan Indonesia.
“Nakhoda wajib mengaktifkan dan memberikan informasi yang
benar pada AIS. Namun jika AIS tidak berfungsi, nakhoda wajib menyampaikan
informasi kepada Stasiun Radio Pantai (SROP) atau Stasiun Vessel Traffic
Services (VTS) serta mencatat kejadian tersebut pada buku catatan harian (log
book) kapal yang dilaporkan kepada Syahbandar,” terang Basar.
Basar menjelaskan, terdapat 2 (dua) jenis AIS yaitu AIS Klas
A dan AIS Klas B.
“AIS Klas A wajib dipasang dan diaktifkan pada Kapal
Berbendera Indonesia yang memenuhi persyaratan Konvensi Safety of Life at Sea
(SOLAS) yang berlayar di wilayah Perairan Indonesia,” ujar Basar.
Sementara AIS Klas B wajib dipasang dan diaktifkan pada
kapal berbendera Indonesia yang meliputi kapal penumpang dan kapal barang non
konvensi dengan ukuran paling rendah GT 35, kapal yang berlayar antar lintas
negara atau yang melakukan barter-trade atau kegiatan lain di bidang kepabeanan
serta kapal penangkap ikan berukuran dengan ukuran paling rendah GT 60.
Dalam peraturan tersebut ditegaskan bahwa pembinaan dan
pengawasan terhadap pemasangan dan pengaktifan AIS langsung berada di bawah
Menteri Perhubungan.
“Sedangkan pengawasan penggunaan AIS dilakukan oleh petugas
Stasiun VTS, petugas SROP, pejabat pemeriksa keselamatan kapal, dan pejabat
pemeriksa kelaiklautan kapal asing,” imbuhnya.
Jika AIS pada kapal tidak aktif, lanjutnya, petugas stasiun
VTS, petugas SROP, pejabat pemeriksa keselamatan kapal, dan pejabat pemeriksa
kelaiklautan kapal asing menyampaikan informasi kepada Syahbandar terdekat.
Basar menegaskan, bagi kapal berbendera Indonesia yang tidak
melaksanakan kewajiban tersebut akan dikenakan sanksi tegas.
“Jika ada kapal yang tidak memasang AIS maka Direktorat
Jenderal Perhubungan Laut akan memberikan sanksi administratif berupa
penangguhan pemberian Surat Persetujuan Berlayar (SPB) sampai dengan terpasang
dan aktifnya AIS di atas kapal,” tegas Basar.
Ia menambahkan, jika ada nakhoda yang selama pelayaran tidak
mengaktifkan AIS dan tidak memberikan informasi yang benar maka dikenai sanksi
administratif berupa pencabutan sertifikat pengukuhan (Certificate of Endorsement
(COE)).
“Begitu pula dengan kapal asing yang tidak melaksanakan
kewajibannya akan dikenakan sanksi sesuai ketentuan Tokyo MOU dan
perubahannya,” pungkasnya.
Sebagai informasi Sistem Identifikasi Otomatis atau AIS
merupakan peralatan navigasi yang penting dalam perkembangan teknonologi
keselamatan pelayaran setelah dikenalkannya sistem radar. AIS adalah sistem
pemancaran radio Very High Frequency (VHF) yang menyampaikan data-data melalui
VHF Data Link (VDL) untuk mengirim dan menerima informasi secara otomatis ke
kapal lain, stasiun VTS atau SROP. Dengan menerapkan sistem AIS akan dapat
membantu pengaturan lalu lintas kapal dan mengurangi bahaya dalam bernavigasi.
AIS secara terus menerus akan mengirimkan data kapal seperti
nama dan jenis kapal, tanda panggilan (call sign), kebangsaan kapal, Maritime
Mobile Services Identities (MMSI), International Maritime Organization (IMO)
Number, bobot kapal, data spesifikasi kapal, status navigasi, titik koordinat
kapal, tujuan berlayar dengan perkiraan waktu tiba.(*/hp)