eMaritim.com, 18 Februari 2019
Kekurangan tenaga professional di lingkup dunia maritim, khususnya syahbandar dan pegawai kunci lainnya sangat dirasakan oleh pelaku usaha. Parameter yang paling mencolok adalah merchant marine safety management atau tata kelola keselamatan pelayaran niaga, dimana didunia pelayaran niaga masih banyak terjadi kecelakaan kapal yang berulang.
Padahal didunia pelayaran niaga lingkup pengeboran lepas pantai hal tersebut sangat jarang terjadi. Dengan kapal niaga dan pelaut yang sama, hanya standarisasi perusahaan pelayaran dan pejabat yang mengatur kegiatan pelayaran di industry MIGAS yang berbeda. Kenapa bisa terjadi? Law enforcement yang tegas didasari pengetahuan dan pengalaman yang baik dari pejabat yang mengatur kegiatan pelayaran adalah kuncinya.
Metode penerimaan dan penempatan pejabat sekelas syahbandar sudah harus mulai dirombak di lingkup Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, sudah saatnya menjadikan linieritas bidang ilmu teknis sebagai dasar mencari the right person with the right qualification and right experience untuk posisi syahbandar di Indonesia lewat jalur yang sah dan diakui negara, selain menjadi Pegawai Negeri Sipil.
Payung hukum untuk ini sudah ada, yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen PPPK dan Undang-Undang (UU) Aparatur Sipil Negara (ASN) Tahun 2018. Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) adalah sebuah solusi yang baik dalam menambah kekuatan HUBLA untuk posisi teknis yang menjadi ujung tombak pemerintah.
Sejalan dengan program pemerintah yang sekarang, bahwa fokus pembangunan kedepan akan ada di sektor SDM. Hal ini sudah menjadi kebutuhan mendesak karena pelayaran niaga yang menjadi jembatan negara dan elemen vital dari program Tol Laut membutuhkan terobosan untuk mendongkrak berbagai aspek pelayaran, utamanya soal keselamatan dan keamanan pelayaran niaga dan perlindungan lingkungan maritim.
Dengan jumlah pegawai mencapai sekitar 16.000, HUBLA diperkirakan hanya memiliki sekitar 400 pegawai yang memiliki kualifikasi, sertifikasi dan kompetensi dari Perwira Pelayaran Niaga didikan sekolah-sekolah yang berada di bawah Kementerian Perhubungan sendiri. Kebanyakan dari mereka direkrut pada saat usia relatif muda, saat pengalamannya sebagai perwira pelayaran niaga belum mencapai posisi perwira senior atau nakhoda.
Jumlah pegawai seperti itu (400), dibandingkan dengan jumlah 300 UPT (Unit Pelaksana Teknis), 300 lebih kapal KPLP, dan 60 kapal DISNAV serta puluhan sekolah pelayaran yang ada jelas tidak mencukupi. Sementara apabila mengandalkan jalur PNS, maka batasan usia dan persyaratan pengalaman akan tidak memenuhi kualifikasi untuk seorang syahbandar.
Dilema remunerasi pastinya bisa diatasi, karena apabila yang diharapkan adalah orang yang berpengalaman, biasanya para perwira senior yang sudah bosan dikapal akan mencari pekerjaan yang bisa membuat mereka dekat dengan keluarga.(jan)
Oleh Capt.Zaenal Arifin Hasibuan
Anggota IKPPNI (Ikatan Korps Perwira Pelayaran Niaga Indonesia)
Kekurangan tenaga professional di lingkup dunia maritim, khususnya syahbandar dan pegawai kunci lainnya sangat dirasakan oleh pelaku usaha. Parameter yang paling mencolok adalah merchant marine safety management atau tata kelola keselamatan pelayaran niaga, dimana didunia pelayaran niaga masih banyak terjadi kecelakaan kapal yang berulang.
Padahal didunia pelayaran niaga lingkup pengeboran lepas pantai hal tersebut sangat jarang terjadi. Dengan kapal niaga dan pelaut yang sama, hanya standarisasi perusahaan pelayaran dan pejabat yang mengatur kegiatan pelayaran di industry MIGAS yang berbeda. Kenapa bisa terjadi? Law enforcement yang tegas didasari pengetahuan dan pengalaman yang baik dari pejabat yang mengatur kegiatan pelayaran adalah kuncinya.
Metode penerimaan dan penempatan pejabat sekelas syahbandar sudah harus mulai dirombak di lingkup Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, sudah saatnya menjadikan linieritas bidang ilmu teknis sebagai dasar mencari the right person with the right qualification and right experience untuk posisi syahbandar di Indonesia lewat jalur yang sah dan diakui negara, selain menjadi Pegawai Negeri Sipil.
Payung hukum untuk ini sudah ada, yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen PPPK dan Undang-Undang (UU) Aparatur Sipil Negara (ASN) Tahun 2018. Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) adalah sebuah solusi yang baik dalam menambah kekuatan HUBLA untuk posisi teknis yang menjadi ujung tombak pemerintah.
Sejalan dengan program pemerintah yang sekarang, bahwa fokus pembangunan kedepan akan ada di sektor SDM. Hal ini sudah menjadi kebutuhan mendesak karena pelayaran niaga yang menjadi jembatan negara dan elemen vital dari program Tol Laut membutuhkan terobosan untuk mendongkrak berbagai aspek pelayaran, utamanya soal keselamatan dan keamanan pelayaran niaga dan perlindungan lingkungan maritim.
Dengan jumlah pegawai mencapai sekitar 16.000, HUBLA diperkirakan hanya memiliki sekitar 400 pegawai yang memiliki kualifikasi, sertifikasi dan kompetensi dari Perwira Pelayaran Niaga didikan sekolah-sekolah yang berada di bawah Kementerian Perhubungan sendiri. Kebanyakan dari mereka direkrut pada saat usia relatif muda, saat pengalamannya sebagai perwira pelayaran niaga belum mencapai posisi perwira senior atau nakhoda.
Jumlah pegawai seperti itu (400), dibandingkan dengan jumlah 300 UPT (Unit Pelaksana Teknis), 300 lebih kapal KPLP, dan 60 kapal DISNAV serta puluhan sekolah pelayaran yang ada jelas tidak mencukupi. Sementara apabila mengandalkan jalur PNS, maka batasan usia dan persyaratan pengalaman akan tidak memenuhi kualifikasi untuk seorang syahbandar.
Dilema remunerasi pastinya bisa diatasi, karena apabila yang diharapkan adalah orang yang berpengalaman, biasanya para perwira senior yang sudah bosan dikapal akan mencari pekerjaan yang bisa membuat mereka dekat dengan keluarga.(jan)
Oleh Capt.Zaenal Arifin Hasibuan
Anggota IKPPNI (Ikatan Korps Perwira Pelayaran Niaga Indonesia)