FOTO; EMARITIM |
Jakarta, eMaritim.com – Tepat hari ini, Minggu 23
September 2018 merupakan hari maritim nasional untuk Republik Indonesia, cikal
bakal hari maritim nasional ini merupakan semangat dari negara yang di apit
oleh perairan laut dan terdiri dari ribuan pulau. Ditetapkan oleh Surat
Keputusan Presiden RI Pertama Ir Soekarno dengan Nomor 249/1964 tentang
Penetapan Tanggal 23 September Menjadi Hari Maritim Nasional.
Telah memasuki tahun ke empat pemerintahan Presiden RI Joko Widodo dengan
program Nawa Cita dan telah menggagas penguatan jati diri Indonesia sebagi
negara maritim untuk menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dan ditambah
dengan program tol lautnya.
Presiden Joko Widodo juga memiliki visi untuk mengembalikan kejayaan
maritim Indonesia yang dapat dicapai dengan melakukan pembangunan sektor
maritim.
Sudah seharusnya Pemerintah memiliki fokus untuk memanfaatkan segala
potensi sumber daya kelautan, membangun transportasi laut dan infrastruktur
pelabuhan yang disertai dengan pembangunan industri maritim yang kuat, termasuk
dengan membangun kekuatan ekonomi masyarakat sehingga nantinya kemandirian
maritim dapat terwujud.
Adapun kemandirian bangsa menurut visi Presiden dapat dilihat dari
kemampuan untuk mewujudkan Indonesia menjadi negara maritim yang mandiri, maju,
kuat, dan berbasiskan kepentingan nasional menuju Indonesia sebagai poros
maritim dunia.
eMaritim merangkum beberapa persoalan yang dianggap sebagai hal utama dalam menuju cita cita Negara Maritim yang maju dan berdaulat. Berikut adalah sedikit dari keseluruhan hal yang akan menjadi tanggung jawab bersama semua komponen bangsa, dengan ujung tombak berada di pundak Direktorat Jenderal Perhubungan Laut sebagai sebuah instansi yang paling maritim.
·
Maritim tidak sama dengan Kelautan, pemahaman akan hal ini sering
menjadikan kerancuan dalam banyak hal.
·
Sebagai
negara kepulauan terbesar di
dunia, Indonesia masih belum mempunyai Universitas Maritim
·
Indonesia belum mempunyai mempunyai Undang Undang Maritim, termasuk
perlindungan terhadap para pelaku kegiatan tersebut yang dipimpin oleh Perwira
Pelayaran Niaga.
·
Indonesia tidak mempunyai Pengadilan ADHOC Maritim yg sifatnya independen,
selama ini keberadaan Mahkamah Pelayaran masih belum cukup untuk persoalan
maritim.
·
Luas Laut Indonesia 2/3 dari luas keseluruhan NKRI dan belum terolah secara
maksimal, salah satunya dikarenakan kurang nya tenaga ahli yang memiliki
jenjang pendidikan setingkat Doktor dan Professor dibidang tersebut.
·
Selat terpanjang yang wilayahnya berbatasan dengan negara tetangga dan
milik NKRI, justru diberi nama sesuai nama negara tetangga, Selat Malaka dan
Selat Singapura
·
Sebagai negara maritim kepulauan Indonesia tidak mempunyai Rumpun Ilmu Maritim,
Sub Rumpun Ilmu Maritim dan Bidang Ilmu Maritim yang diakui negara untuk
dikembangkan
·
Tugas pembentukan Sea and Coast Guard belum terlaksana, negara kepulauan sebesar Indonesia masih belum
memiliki Coast Guard yang diamanahkan UU 17 tahun 2008
·
Indonesia masih belum melaksanakan Pemberlakuan Non Convention Vessel
Standard, sehingga semua aturan pelayaran dan kepelautan hanya mengacu kepada
IMO, padahal IMO sendiri sudah membebaskan kepada kapal kapal yang berukuran
dibawah 500 GT dan kapal kapal yang berlayar domestik
·
Efisiensi Proyek Tol Laut, dengan memilah kebutuhan daerah dan membuat
neraca komoditas masing masing daerah. Ini mutlak untuk melihat apa kebutuhan
sebuah daerah dan apa peran masing masing daerah dalam mensukseksan Programn
Tol Laut. Beberapa daerah yang maju sudah sampai ke tahap persoalan dwelling
time, akses pelabuhan dan lainnya. Sementara daerah lain masih berada di
persoalan standard, seperti kemampuan industri daerah tersebut dalam menghasilkan
produk untuk bisa diangkut ke pulau lain
·
Memotori program Beyond Cabotage, Ekspor Impor komoditas Nasional masih
dikuasai kapal asing dengan jumlah diatas 95%.
·
Peningkatan kualitas SDM Pelaut, agar mampu menjadi pelaut yang sangat baik
di dunia dan pada ujungnya akan menjadi penghasil devisa yang sangat hebat,
Filipina adalah contoh negara yang mampu melakukan itu.
·
Pemberantasan pungli di segala aspek bidang pelayaran dan kepelautan
·
Penegakan hukum dilaut yang masih tumpang tindih dari banyak lembaga,
sehingga membingungkan pemilik kapal dan pelaut yang sering menjadi korban.
·
Masih kurang tegasnya petugas dalam menegakkan hukum di laut dan industri
perkapalan.
·
Kesejahtraan di Direktorat Jenderal Perhubungan Laut terbilang rendah
dibandingkan dengan industri yang ditanganinya. Bibit-bibit unggulan bidang
maritim lebih tertarik bergerak di bidang swasta atau bahkan bekerja diluar
negeri.
·
Bidang pendidikan maritim sudah seharusnya berorientasi kepada Industri
yang selalu dinamis, Kurikulum sebaiknya menyesuaikan perkembangan industri.
·
Peraturan dan Kebijakan yang mendorong kemajuan Pembangunan kapal,
Penggunaan kapal dan pemanfaatan industri penunjang maritim lainnya harus
tegas.
·
Ketegasan dalam melaksanakan rezim maritim diatas laut ada dibawah Dirjen
HUBLA, sehingga keberadaan DITJEN Perhubungan Darat dengan ekspansi ASDP harus
dikembalikan marwahnya ke tangan yang benar.
·
Menjadi pelopor Tri Partid : Regulator - Pelaut - Pelayaran dalam
mengembangkan dunia maritim yang berkesinambungan dimana aspek SDM menjadi
prioritas.
·
Keterbukaan publik, harus berani membuka ruang kepada diskusi
terbuka, menerima masukan dari Organisasi Maritim, stake holders, memanfaatkan dunia
pendidikan vokasi yang dimiliki sebagai ajang penggodokan kebijakan.
Demikian gambaran dunia maritim
apabila kita sama sama mau melihat dari mikroskop maritim, sebuah cara pandang
yang realistis, bukan sekedar yel yel pemuas penguasa.
Cara kerja instansi pemerintahan dimana persentasi penyerapan anggaran masih diutamakan, ketimbang hasil dari pembangunan itu sendiri masih menjadi momok bagi sebagian pejabat yang berniat bersih. Sistem dan lingkungan yang sering memaksa seseorang berbuat korup, karena keterlibatan pihak luar masih dibatasi.
Mungkin sudah saatnya pemerintah membentuk badan independen swasta sejenis Maritime Corruption Watch untuk sama sama mengkawal Program Pemerintah agar Laut Indonesia kembali ke rasa aslinya, ASIN !.(rh/zah/*)
Cara kerja instansi pemerintahan dimana persentasi penyerapan anggaran masih diutamakan, ketimbang hasil dari pembangunan itu sendiri masih menjadi momok bagi sebagian pejabat yang berniat bersih. Sistem dan lingkungan yang sering memaksa seseorang berbuat korup, karena keterlibatan pihak luar masih dibatasi.
Mungkin sudah saatnya pemerintah membentuk badan independen swasta sejenis Maritime Corruption Watch untuk sama sama mengkawal Program Pemerintah agar Laut Indonesia kembali ke rasa aslinya, ASIN !.(rh/zah/*)