eMaritim, 10 Agustus 2018
Catatan Capt. Zaenal A Hasibuan (a proud member of IKPPNI)
Didalam Undang Undang No. 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran pada Bab XI bagian ketujuh menyebutkan bahwa penanganan kecelakaan kapal adalah di tangan Syahbandar, sebagai pelaksana pemeriksaan pendahuluan. Kemudian dilanjutkan dengan peran Mahkamah Pelayaran RI sebagai pelaksana pemeriksaan lanjutan dan pengambil keputusan terhadap kasus kecelakaan kapal (Bab XIII bagian ketiga).
Terlepas dari fakta bahwa UU no.17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran ini belum bisa mencakup seluruh kegiatan yang bercorak maritim dalam arti luas, tapi karena bentuk negara Republik Indonesia adalah negara kepulauan, maka keberadaan UU No.17 Tentang Pelayaran ini bisa dianggap sebagai kekhususan bidang angkutan pelayaran itu sendiri bagi NKRI. Kekhususan sifat pelayaran itu sendiri dalam arti hukum di kategorikan sebagai hal yang Lex Specialis.
Sementara jika kita membandingkan penegakan hukum pidana yang umum seperti tercantum di KUHAP BAB IV Tentang Penyidikan dan Penuntutan, yang lebih bersifat umum. Hal ini, jika dikaitkan dengan kasus kecelakaan kapal, maka apa yang termuat dalam UU. NO. 17 Th.2008 Tentang Pelayaran adalah hal yang bersifat “lex specialis derogate lex generali” terhadap KUHAP yang disebut diatas.
Disinilah sifat azas lex specialis yang merupakan secondary rules menjadi nyata, untuk dapat menentukan aparat penegak hukum yang mana yang
berwenang melaksanakan pemeriksaan terhadap kasus kecelakaan kapal. Aturan yang khusus menjadi “aturan hukum” yang mengikat, sementara aturan yang umum menjadi “aturan perundang-undangan" saja, Oleh karena itu Pemeriksaan Pendahuluan dari kasus kecelakaan kapal, apapun kecelakaan itu (tabrakan, kandas, kebakaran dan tenggelam) harus dilaksanakan oleh Syahbandar sesuai pasal 220 – 221 UU. NO. 17 Th. 2008 Tentang Pelayaran . Kemudian pemeriksaan lanjutan dan keputusan dilaksanakan oleh Mahkamah Pelayaran RI sesuai pasal 251 – 253 Undang Undang tersebut .
Kekurang pahaman aparat negara atas produk Undang Undang yang pernah dibuat oleh negara dan mengikat kegiatan pelayaran sering menjadi pemicu kesimpang siuran penanganan kegiatan pelayaran di Indonesia. Sebagai contoh, apabila terjadi kecelakaan kapal maka instansi yang sering masuk kedalam pemeriksaan awal adalah dari kepolisian atau KNKT, bukan syahbandar terdekat.
Hal ini tentu tidak serta merta terjadi begitu saja, jika menilik kepada fungsi dan tugas dari seorang syahbandar seperti yang tertulis didalam UU No.17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran maka akan terlihat bahwa kurangnya SDM di Direktorat Jenderal Perhubungan Laut yang memenuhi kualifikasi untuk menjadi syahbandar bisa ditengarai sebagai salah satu pemicu lunturnya nilai dan fungsi seorang syahbandar di Indonesia.
Indonesia memiliki Undang undang nomor 5 tentang Aparatur Sipil Negara yang menjadi pegangan setiap instansi pemerintahan dalam merekrut, merotasi, mempromosi dan memutasi Aparatur Sipil Negara. Didalam UU nomor 5 tentang ASN tersebut sudah jelas disebut berulang-ulang kata KOMPETENSI sebagai acuan dasar dalam hal merekrut, rotasi, mutasi dan promosi.
Dalam menempatkan seseorang menjadi syahbandar di sebuah Unit Penyelenggara Teknis, syarat kompetensi seperti yang dimaksud dalam UU no.5 tentang ASN harusnya menjadi acuan baku. Karena kekhususan jabatan dan tugas syahbandar tidak boleh di serahkan kepada yang tidak memahami dan tidak memiliki dasar pendidikan yang kuat. Sebagai akibatnya, para syahbandar yang semestinya bertindak sebagai pelaksana pemeriksa pendahuluan (Penyidik Pegawai Negeri Sipil) malah melemparkan hal tersebut kepada pihak kepolisian. Praktik seperti ini akhirnya menjadi seperti praktek lazim di Indonesia, bahkan banyak syahbandar yang dijadikan tersangka atas kecelakaan yang terjadi atas kecelakaan kapal.
Kegagalan pemerintah dalam pemenuhan SDM yang mumpuni untuk posisi syahbandar, pada akhirnya mengaburkan makna syahbandar itu sendiri. Dan seperti yang kita lihat sekarang, saat terjadi kecelakaan kapal maka bukannya syahbandar, tapi polisi dan KNKT yang masuk. Untuk diketahui bahwa Indonesia kelebihan SDM di bidang pelayaran untuk mengisi posisi syahbandar yang ada di 330 Unit Penyelenggara Pelabuhan di seluruh Indonesia. Sementara ini hanya ada sekitar 400 orang dari 16.000 pegawai HUBLA yang memiliki dasar pendidikan yang linier dengan core business HUBLA, Keselamatan Pelayaran Niaga.
Sedikit melihat lewat kacamata yang lebih luas daripada sekedar persoalan mandulnya syahbandar, kepada fakta sejarah Indonesia. Bahwa semenjak dileburnya Kementerian Maritim kedalam Kementerian Perhubungan di awal era orde baru, Indonesia tidak pernah lagi dalam kurun waktu 50 tahun secara serius menggarap potensi maritimnya. Nilai-nilai leluhur bangsa bahari kita sudah lama tercabut dari roh bernegara NKRI, dan terus berlanjut sampai pada tahun 2014 disaat Jokowi-JK terpilih sebagai presiden dan wakil presiden RI.
Harapan insan maritim sempat mencuat melihat visi dan misi presiden RI yang deklarasinya pun dilakukan diatas kapal di pelabuhan Sunda Kelapa. Sayangnya dengan berjalannya waktu, mulai terlihat bahwa pemahaman pemerintahan yang sekarang tentang maritim juga tidak beda jauh dengan pemerintahan-pemerintahan sebelumnya. Dengan arah kebijakan negara yang ingin berpaling kapada maritim dan laut, sayangnya pembenahan Undang Undang, Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri yang tumpang tindih tidak dibenahi. Apalagi melirik dunia pendidikan yang berbasiskan maritim, pemerintah masih jauh dari pemahaman yang diharapkan.
Salah satu contoh amanah UU no.17 tentang Pelayaran yang masih belum memiliki aturan turunannya, dan paling krusial adalah soal pembentukan Indonesian Sea and Coast Guard seperti amanat UU. no. 17 tentang Pelayaran. Sampai hari ini dunia pelayaran masih menjadi bulan-bulanan banyaknya petugas yang memeriksa kapal bendera Indonesia yang sering berujung kepada pungli. Lucunya petugas yang sama jarang naik ke kapal bendera asing, karena memang yang empuk dijadikan bulan-bulanan adalah kapal Indonesia.
Dunia maritim Indonesia sudah terlalu jauh terdeviasi kearah pemahaman dan praktek yang salah dari elite politik Indonesia selama ini, diawal pemerintahan Jokowi-JK masyarakat banyak yang berharap pemerintah membentuk Kementerian Maritim sebagai perwujudan respek pemerintah terhadap potensi yang dimiliki. Tapi ternyata Jokowi-JK lebih memilih membentuk Kementerian Kordinator Bidang Kemaritiman lewat Peraturan Presiden nomor 10 tahun 2015, yang sebenarnya tidak secara spesifik mengurus maritim karena hanya bersifat mengkoordinir.
Hal ini semakin menjauhkan haluan negara dari tujuan yang sebenarnya, karena Kemenko Maritim kadang mengurus persoalan yang tidak ada sangkut pautnya dengan kegiatan maritim itu sendiri. Untuk mengetahui apa arti maritim, ada baiknya kita membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia atau Black's Law Dictionary. Karena jika salah mengartikan terminologi maritim, maka cara berfikir, cara pandang dan pendekatan kearah tersebut bisa menjadi bias.
Pemerintah bukannya tanpa supporter jika memang punya keinginan kuat dan ikhlas melepas kepentingan politiknya demi kemajuan dunia maritim ditanah air. Indonesia harus memakai referensi yang benar, bukan oportunis politik yang mendadak berubah jadi ahli maritim. Referensi tersebut banyak tersebar diluar sistem pemerintahan dalam wujud tokoh tokoh senior yang paham seluk beluk dan sejarah maritim Indonesia dan mereka pasti siap sedia jika memang dibutuhkan tenaga dan fikirannya membangun negara tanpa pamrih.
Bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia disatukan oleh kapal dan pelaut adalah sebagai sebuah fakta, mereka menghubungkan peradaban masyarakat nusantara sehingga terjadi pemahaman bahwa kita serumpun dan bersaudara. Tanpa pelaut dan kapal, NKRI tidak akan pernah terwujud. Negara sudah lama tidak menghormati pelaut dan kapalnya, dan jika ini terus berlangsung maka NKRI akan terus menjadi bangsa pecundang di kandangnya sendiri.
Kenapa demikian? Tanpa kita sadari penjajahan model baru sudah merangsek ke beberapa bagian Indonesia, dan ini seperti Dejavu pengulangan sejarah kedatangan VOC dahulu. Kecerobohan pemerintah membiarkan komoditas ekspor impor Indonesia bergantung kepada kapal-kapal asing sama seperti masa dimana bangsa ini harus menjual hasil buminya kepada VOC dahulu. Bedanya kalau VOC dahulu berniaga sambil membawa senjata, sekarang bangsa asing datang berdagang ke Indonesia sambil menjerat leher kita dengan hutang.
Indonesia punya muatan, Indonesia punya pantai, Kapal VOC datang berlabuh dan mengisi palka palka kapalnya dan membawa itu semua ke Eropa sebagai dasar intercontinental trade mereka. Saat ini muatan pun masih berlimpah, bahkan pantai sudah berubah jadi pelabuhan canggih. Sayangnya semua itu dipersembahkan untuk kapal kapal asing berukuran raksasa yang datang dengan restu penuh dari pemerintah. Adakah bedanya dengan sejarah kedatangam VOC dulu?
Sementara ini kita harus kembali fokus ke perangkat penegak aturan kemaritiman NKRI dulu, baik aturan maupun SDM nya. PR mudah yang harus diselesaikan oleh bangsa yang mengaku cucu pelaut. Bagaimana membuat posisi syahbandar kembali menjadi terhormat, paham tanggung jawab dan konsekuensinya, bukan seorang pegawai negeri sipil yang canggung naik keatas kapal.
Pemerintah bisa melakukan sosialisasi (lagi) kepada seluruh stake holder yang ada di industri maritim dan juga kepada aparat yang selama ini "mengurus" industri maritim bahwa peran syahbandar adalah nyata dan memiliki landasan hukum yang lex specialis. Sebaiknya DPR dan Presiden sebagai lead sector dari sosialisasi ini, agar bangsa ini bisa perlahan-lahan kembali ke haluan sejatinya untuk menjadi bangsa maritim seperti nenek moyang kita dahulu.
Kapan-kapan kita bisa bermimpi memiliki putra/putri terbaik bangsa untuk menjadi Sekjend IMO, seperti saudara seusia kita dari Asia lainnya, Korea Selatan. Kali ini mari sama sama kita cari putra putri NKRI yang kompeten untuk menjadi syahbandar-syahbandar di seluruh Indonesia.(rip)
Catatan Capt. Zaenal A Hasibuan (a proud member of IKPPNI)
(Kantor Syahbandar Utama Surabaya)
Terlepas dari fakta bahwa UU no.17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran ini belum bisa mencakup seluruh kegiatan yang bercorak maritim dalam arti luas, tapi karena bentuk negara Republik Indonesia adalah negara kepulauan, maka keberadaan UU No.17 Tentang Pelayaran ini bisa dianggap sebagai kekhususan bidang angkutan pelayaran itu sendiri bagi NKRI. Kekhususan sifat pelayaran itu sendiri dalam arti hukum di kategorikan sebagai hal yang Lex Specialis.
Sementara jika kita membandingkan penegakan hukum pidana yang umum seperti tercantum di KUHAP BAB IV Tentang Penyidikan dan Penuntutan, yang lebih bersifat umum. Hal ini, jika dikaitkan dengan kasus kecelakaan kapal, maka apa yang termuat dalam UU. NO. 17 Th.2008 Tentang Pelayaran adalah hal yang bersifat “lex specialis derogate lex generali” terhadap KUHAP yang disebut diatas.
Disinilah sifat azas lex specialis yang merupakan secondary rules menjadi nyata, untuk dapat menentukan aparat penegak hukum yang mana yang
berwenang melaksanakan pemeriksaan terhadap kasus kecelakaan kapal. Aturan yang khusus menjadi “aturan hukum” yang mengikat, sementara aturan yang umum menjadi “aturan perundang-undangan" saja, Oleh karena itu Pemeriksaan Pendahuluan dari kasus kecelakaan kapal, apapun kecelakaan itu (tabrakan, kandas, kebakaran dan tenggelam) harus dilaksanakan oleh Syahbandar sesuai pasal 220 – 221 UU. NO. 17 Th. 2008 Tentang Pelayaran . Kemudian pemeriksaan lanjutan dan keputusan dilaksanakan oleh Mahkamah Pelayaran RI sesuai pasal 251 – 253 Undang Undang tersebut .
Kekurang pahaman aparat negara atas produk Undang Undang yang pernah dibuat oleh negara dan mengikat kegiatan pelayaran sering menjadi pemicu kesimpang siuran penanganan kegiatan pelayaran di Indonesia. Sebagai contoh, apabila terjadi kecelakaan kapal maka instansi yang sering masuk kedalam pemeriksaan awal adalah dari kepolisian atau KNKT, bukan syahbandar terdekat.
Hal ini tentu tidak serta merta terjadi begitu saja, jika menilik kepada fungsi dan tugas dari seorang syahbandar seperti yang tertulis didalam UU No.17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran maka akan terlihat bahwa kurangnya SDM di Direktorat Jenderal Perhubungan Laut yang memenuhi kualifikasi untuk menjadi syahbandar bisa ditengarai sebagai salah satu pemicu lunturnya nilai dan fungsi seorang syahbandar di Indonesia.
Indonesia memiliki Undang undang nomor 5 tentang Aparatur Sipil Negara yang menjadi pegangan setiap instansi pemerintahan dalam merekrut, merotasi, mempromosi dan memutasi Aparatur Sipil Negara. Didalam UU nomor 5 tentang ASN tersebut sudah jelas disebut berulang-ulang kata KOMPETENSI sebagai acuan dasar dalam hal merekrut, rotasi, mutasi dan promosi.
Dalam menempatkan seseorang menjadi syahbandar di sebuah Unit Penyelenggara Teknis, syarat kompetensi seperti yang dimaksud dalam UU no.5 tentang ASN harusnya menjadi acuan baku. Karena kekhususan jabatan dan tugas syahbandar tidak boleh di serahkan kepada yang tidak memahami dan tidak memiliki dasar pendidikan yang kuat. Sebagai akibatnya, para syahbandar yang semestinya bertindak sebagai pelaksana pemeriksa pendahuluan (Penyidik Pegawai Negeri Sipil) malah melemparkan hal tersebut kepada pihak kepolisian. Praktik seperti ini akhirnya menjadi seperti praktek lazim di Indonesia, bahkan banyak syahbandar yang dijadikan tersangka atas kecelakaan yang terjadi atas kecelakaan kapal.
Kegagalan pemerintah dalam pemenuhan SDM yang mumpuni untuk posisi syahbandar, pada akhirnya mengaburkan makna syahbandar itu sendiri. Dan seperti yang kita lihat sekarang, saat terjadi kecelakaan kapal maka bukannya syahbandar, tapi polisi dan KNKT yang masuk. Untuk diketahui bahwa Indonesia kelebihan SDM di bidang pelayaran untuk mengisi posisi syahbandar yang ada di 330 Unit Penyelenggara Pelabuhan di seluruh Indonesia. Sementara ini hanya ada sekitar 400 orang dari 16.000 pegawai HUBLA yang memiliki dasar pendidikan yang linier dengan core business HUBLA, Keselamatan Pelayaran Niaga.
Sedikit melihat lewat kacamata yang lebih luas daripada sekedar persoalan mandulnya syahbandar, kepada fakta sejarah Indonesia. Bahwa semenjak dileburnya Kementerian Maritim kedalam Kementerian Perhubungan di awal era orde baru, Indonesia tidak pernah lagi dalam kurun waktu 50 tahun secara serius menggarap potensi maritimnya. Nilai-nilai leluhur bangsa bahari kita sudah lama tercabut dari roh bernegara NKRI, dan terus berlanjut sampai pada tahun 2014 disaat Jokowi-JK terpilih sebagai presiden dan wakil presiden RI.
Harapan insan maritim sempat mencuat melihat visi dan misi presiden RI yang deklarasinya pun dilakukan diatas kapal di pelabuhan Sunda Kelapa. Sayangnya dengan berjalannya waktu, mulai terlihat bahwa pemahaman pemerintahan yang sekarang tentang maritim juga tidak beda jauh dengan pemerintahan-pemerintahan sebelumnya. Dengan arah kebijakan negara yang ingin berpaling kapada maritim dan laut, sayangnya pembenahan Undang Undang, Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri yang tumpang tindih tidak dibenahi. Apalagi melirik dunia pendidikan yang berbasiskan maritim, pemerintah masih jauh dari pemahaman yang diharapkan.
Salah satu contoh amanah UU no.17 tentang Pelayaran yang masih belum memiliki aturan turunannya, dan paling krusial adalah soal pembentukan Indonesian Sea and Coast Guard seperti amanat UU. no. 17 tentang Pelayaran. Sampai hari ini dunia pelayaran masih menjadi bulan-bulanan banyaknya petugas yang memeriksa kapal bendera Indonesia yang sering berujung kepada pungli. Lucunya petugas yang sama jarang naik ke kapal bendera asing, karena memang yang empuk dijadikan bulan-bulanan adalah kapal Indonesia.
Dunia maritim Indonesia sudah terlalu jauh terdeviasi kearah pemahaman dan praktek yang salah dari elite politik Indonesia selama ini, diawal pemerintahan Jokowi-JK masyarakat banyak yang berharap pemerintah membentuk Kementerian Maritim sebagai perwujudan respek pemerintah terhadap potensi yang dimiliki. Tapi ternyata Jokowi-JK lebih memilih membentuk Kementerian Kordinator Bidang Kemaritiman lewat Peraturan Presiden nomor 10 tahun 2015, yang sebenarnya tidak secara spesifik mengurus maritim karena hanya bersifat mengkoordinir.
Hal ini semakin menjauhkan haluan negara dari tujuan yang sebenarnya, karena Kemenko Maritim kadang mengurus persoalan yang tidak ada sangkut pautnya dengan kegiatan maritim itu sendiri. Untuk mengetahui apa arti maritim, ada baiknya kita membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia atau Black's Law Dictionary. Karena jika salah mengartikan terminologi maritim, maka cara berfikir, cara pandang dan pendekatan kearah tersebut bisa menjadi bias.
Pemerintah bukannya tanpa supporter jika memang punya keinginan kuat dan ikhlas melepas kepentingan politiknya demi kemajuan dunia maritim ditanah air. Indonesia harus memakai referensi yang benar, bukan oportunis politik yang mendadak berubah jadi ahli maritim. Referensi tersebut banyak tersebar diluar sistem pemerintahan dalam wujud tokoh tokoh senior yang paham seluk beluk dan sejarah maritim Indonesia dan mereka pasti siap sedia jika memang dibutuhkan tenaga dan fikirannya membangun negara tanpa pamrih.
Bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia disatukan oleh kapal dan pelaut adalah sebagai sebuah fakta, mereka menghubungkan peradaban masyarakat nusantara sehingga terjadi pemahaman bahwa kita serumpun dan bersaudara. Tanpa pelaut dan kapal, NKRI tidak akan pernah terwujud. Negara sudah lama tidak menghormati pelaut dan kapalnya, dan jika ini terus berlangsung maka NKRI akan terus menjadi bangsa pecundang di kandangnya sendiri.
Kenapa demikian? Tanpa kita sadari penjajahan model baru sudah merangsek ke beberapa bagian Indonesia, dan ini seperti Dejavu pengulangan sejarah kedatangan VOC dahulu. Kecerobohan pemerintah membiarkan komoditas ekspor impor Indonesia bergantung kepada kapal-kapal asing sama seperti masa dimana bangsa ini harus menjual hasil buminya kepada VOC dahulu. Bedanya kalau VOC dahulu berniaga sambil membawa senjata, sekarang bangsa asing datang berdagang ke Indonesia sambil menjerat leher kita dengan hutang.
Indonesia punya muatan, Indonesia punya pantai, Kapal VOC datang berlabuh dan mengisi palka palka kapalnya dan membawa itu semua ke Eropa sebagai dasar intercontinental trade mereka. Saat ini muatan pun masih berlimpah, bahkan pantai sudah berubah jadi pelabuhan canggih. Sayangnya semua itu dipersembahkan untuk kapal kapal asing berukuran raksasa yang datang dengan restu penuh dari pemerintah. Adakah bedanya dengan sejarah kedatangam VOC dulu?
Sementara ini kita harus kembali fokus ke perangkat penegak aturan kemaritiman NKRI dulu, baik aturan maupun SDM nya. PR mudah yang harus diselesaikan oleh bangsa yang mengaku cucu pelaut. Bagaimana membuat posisi syahbandar kembali menjadi terhormat, paham tanggung jawab dan konsekuensinya, bukan seorang pegawai negeri sipil yang canggung naik keatas kapal.
Pemerintah bisa melakukan sosialisasi (lagi) kepada seluruh stake holder yang ada di industri maritim dan juga kepada aparat yang selama ini "mengurus" industri maritim bahwa peran syahbandar adalah nyata dan memiliki landasan hukum yang lex specialis. Sebaiknya DPR dan Presiden sebagai lead sector dari sosialisasi ini, agar bangsa ini bisa perlahan-lahan kembali ke haluan sejatinya untuk menjadi bangsa maritim seperti nenek moyang kita dahulu.
Kapan-kapan kita bisa bermimpi memiliki putra/putri terbaik bangsa untuk menjadi Sekjend IMO, seperti saudara seusia kita dari Asia lainnya, Korea Selatan. Kali ini mari sama sama kita cari putra putri NKRI yang kompeten untuk menjadi syahbandar-syahbandar di seluruh Indonesia.(rip)