Ilustrasi Batu Bara |
Aturan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 82 Tahun 2017 tentang Ketentuan Penggunaan Angkutan Laut Dan Asuransi Nasional Untuk Ekspor Dan Impor Barang Tertentu. Kebijakan ini pun akan berlaku pada 1 Mei 2018.
Hendra berharap penerapan aturan tersebut bisa direvisi, atau bahkan bisa ditunda. "Yang kita butuhkan sekarang adalah kejelasan revisi Permendag 82. Syukur-syukur revisinya di-default biar ada kejelasan ke depannya. Asal ada kejelasan ke depan dan tidak memberatkan ekspor,” ujar dia di DPR RI, Jakarta, Selasa (3/4/2018).
Dia menilai sejak beleid tersebut dikeluarkan, kejelasan mengenai data kapal angkut nasional yang dimiliki pemerintah dinilai tak pasti. Dari data Kemendag, di 2017 hanya 2% kapal nasional yang mampu melayani angkutan ekspor batu bara.
"Mungkin 2% lah karena data belum semua masuk, (data itu) kapal nasional aja. Kebanyakan 80% bentuknya tongkang, 10 vessel, sisanya 60 tongkang itu pun melayani ekspor ke negara tetangga," sebutnya seperti dikutip okezone.
Dia pun meminta pemerintah untuk melakukan pendataan dengan lengkap, sehingga siap untuk merealisasikan kebijakan tersebut. Setidaknya, menurut Hendra, ini membutuhkan waktu satu hingga dua tahun ke depan.
"Ternyata dalam pembahasan awal di tim pelaksana, baru kita ketahui data-data yang diperlukan tidak mencukupi. Misalnya jumlah kapalnya berapa yang berbendera Indonesia, terus ke mana saja tujuan ekspornya. Itu sama sekali bisa dikatakan belum ada, terus kapal nasionalnya jumlahnya berapa," paparnya.
Hendra menyatakan, saat ini beberapa perusahaan batu bara pun menahan kontrak ekspornya untuk menunggu kepastian dari penerapan aturan tersebut.
“Kalau kapal eksisting mereka takut. Hal-hal ini agak menggelisahkan sih memang. Saya belum tahu berapa kontrak yang di-hold, tapi kita banyak terima pertanyaan laporan dari buyer (pembeli) kapan kepastiannya. Kita juga enggak berani kalau belum ada legalnya,” jelasnya. (*)