Peta Laut Cina Selatan | Istimewa |
Jakarta, eMaritim.com – Pemerintah Republik Indonesia (RI) sempat berencana
mengubah nama kawasan perairan Laut Cina Selatan menjadi Laut Natuna Utara pada
bulan Juli 2017. Pengubahan nama perairan ini disinyalir karena wilayah perairan
ini termasuk ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Pemerintah RI yang kian gencar di kawasan perbatasan
perairan tersebut melalui beberapa tindakan dengan menambah kekuatan militer di
Kepulauan Natuna serta pengerahan kapal perang ke kawasan tersebut. Semakin
tampak jelas ketika sejumlah negara lain di kawasan ini cenderung bersikap
lunak terhadap kawasan perairan tersebut yang telah diklaim sebagai kedaulatan
laut Cina.
Pemerintah Cina yang mengetahui hal tersebut langsung
menyerukan Pemerintah RI agar segera membatalkan rencana pengubahan nama
perairan ini. Seperti diketahui, Cina dan Indonesia pernah terlibat cekcok
maritim di tahun 2016. Yang mencuat ketika itu adalah aksi tembakan peringatan,
serta penangkapan sebuah kapal nelayan Cina dan awaknya oleh sebuah kapal
perang Indonesia.
Langkah pengubahan nama ini oleh Cina dianggap sebagai
tantangan dari Indonesia sebagai manuver. Meski Cina merupakan salah satu
investor dan mitra perdagangan terbesar di Indonesia, Cina justru berusaha
mengendalikan kawasan perairan yang dinilai memiliki Sumber Daya Alam (SDA)
terbesar, khususnya di sektor minyak, gas alam, serta perikanan.
Tantangan dari Indonesia jelas ditujukan terhadap apa
yang disebut oleh Beijing sebagai nine
dash lines atau sembilan garis putus yang pada peta Cina menetapkan kawasan
luas di Laut Cina Selatan sebagai zona maritim milik Beijing. Sementara itu,
media online deutshce welle mencatat,
ada aktor baru juga mulai muncul dalam konflik ini. Angkatan Laut AS mulai
menantang klaim Cina dengan menggelar latihan militer di kawasan yang diklaim
Cina.
Selama bertahun-tahun Indonesia tidak menyatakan
dukungan kepada pihak manapun berkaitan dengan konflik dengan Cina di Laut Cina
Selatan. Berbeda dengan negara-negara tetangganya seperti Brunei, Malaysia,
Filipina dan Vietnam.
Namun setelah rangkaian friksi dan puncaknya cekcok
terakhir di bulan Juni, Departemen Luar Negeri Cina mengeluarkan pernyataan
yang untuk pertama kalinya mengikutsertakan kawasan penangkapan ikan
tradisional Indonesia, yang ada di dalam zona ekonomi eksklusif Indonesia, ke
dalam kawasan sembilan garis putusnya.
Pemerintahan di bawah Presiden Jokowi juga makin tegas
menanggapi langkah Beijing. Salah satunya memprioritaskan pembentukan Indonesia
menjadi kekuatan maritim di kawasan. Dalam kunjungannya ke Jepang tahun 2015,
Jokowi menegaskan dalam interview bahwa sembilan garis putus yang ditetapkan
Cina tidak punya dasar dalam hukum internasional.
Berikut ini tujuh negara yang memiliki kekuatan di
perairan Laut Cina Selatan:
1. Cina
Cina setidaknya memiliki satu kapal induk, yakni
Liaoning, dan berniat membangun satu kapal induk lain, Warjag. Selain itu
negeri tirai bambu ini juga menguasai 57 kapal selam, 78 kapal fregat dan kapal
perusak , 27 korvet, 180 kapal patroli, 52 kapal pendarat dan 523 kapal penjaga
pantai. Secara umum Angkatan Laut Cina memiliki 235.000 pasukan yang terbagi
dalam tiga armada.
2. Singapura
Meski negara pulau, angkatan laut Singapura hanya
memiliki 3.000 pasukan yang bertugas mengamankan wilayah perairan dari
perompak. Secara umum negeri jiran ini menguasai 4 kapal selam, 6 kapal fregat
dan kapal perusak, 6 kapal korvet, 29 kapal patroli dan 102 kapal penjaga
pantai.
3. Thailand
Meski tidak terlibat konflik secara langsung, posisi
Thailand turut dipertimbangkan dalam konflik Laut Cina Selatan. Beranggotakan
44.000 tentara, angkatan laut negeri gajah putih ini memiliki satu kapal induk
helikopter buatan Spanyol, HTMS Chakri Naruebet, 9 kapal fregat dan perusak, 7
kapal korvet, 77 kapal patroli, 2 kapal pendarat dan 94 kapal penjaga pantai.
4. Filipina
Dari semua negara, angkatan laut Filipina dengan
24.000 personil termasuk yang paling lemah, terutama jika mempertimbangkan
posisinya dalam konflik di Laut Cina Selatan. Jiran di utara ini hanya memiliki
4 kapal fregat buatan Amerika Serikat, 10 unit korvet yang sebagian sudah
menua, 66 kapal patroli, 4 kapal pendarat dan 72 kapal penjaga pantai.
5. Vietnam
Vietnam banyak membenahi kekuatan angkatan lautnya
sejak beberapa tahun terakhir. Kini angkatan laut Vietnam yang beranggotakan
40.000 serdadu memiliki 7 kapal selam anyar kelas Kilo buatan Rusia, 2 kapal
fregat, 7 kapal korvet, 61 kapal patroli, 8 kapal pendarat tank dan 78 kapal
penjaga pantai.
6. Indonesia
Belakangan Jakarta meningkatkan pengamanan di perairan
Natuna. Saat ini Indonesia adalah kekuatan terbesar kedua setelah Cina dalam
konflik di Laut Cina Selatan. TNI AL saat ini memiliki 2 kapal selam, 12 kapal
fregat dan perusak, 27 korvet, 64 kapal patroli, 19 kapal pendarat tank dan 43
kapal penjaga pantai. Namun begitu usia armada laut Indonesia juga tergolong
yang paling tua di kawasan.
7. Malaysia
Kekuatan angkatan laut Malaysia yang berkekuatan 14.000
personil hampir menyaingi Indonesia. Selain 2 kapal selam anyar buatan Spanyol,
Malaysia juga memiliki 10 kapal fregat atau perusak, 4 kapal korvet buatan
Jerman, 33 kapal patroli dan 317 kapal penjaga pantai. (sumber: DW/IISS/SIPRI)