Jakarta, eMaritim.com - Melihat pandangan Selat Malaka yang cemerlang dalam beberapa aspek menurut Menteri Perhubungan Budi Karya sumadi kemarin setelah meresmikan Jasa Pemanduan Indonesia untuk Selat Malaka-Singapura. Inilah sedikit ulasan mengenai sejarah Pemanduan Selat Malaka - Singapura.
Selama lebih dari 2.000 tahun perairan Selat Malaka-Selat
Singapura merupakan salah satu jalur utama pelayaran Dunia, khusunya Asia, yang
digunakan untuk menunjang kepentingan ekonomi, sosial, budaya dan militer.
Jalur ini merupakan pintu gerbang pelayaran yang dikenal dengan nama “Jalur
Sutra”, penamaan yang digunakan sejak abad ke-1 M hingga abad ke-16 M
ini diambil dari komoditas utama yang dibawa melalui Selat Malaka-Selat
Singapura yaitu kain Sutra dari China. Selat Malaka-Selat Singapura
menghubungkan Samudera Hindia dan Laut China Selatan, panjang Selat
Malaka-Selat Singapura +/- 600 N-mil, terbentang dari lautan Andaman disisi
Barat (Utara) sampai perairan Tanjung Berakit (Utara Pulau Bintan) disisi Timur
(Selatan). Walaupun Selat Malaka-Selat Singapura merupakan selat alami yang
secara Phisik bisa dilintasi oleh kapal Generasi Ke-4, namun pada beberapa
titik terdapat kedalaman hanya -25 M LWS dan alur tersempit selebar 1.800
M.
Pada abad ke-5 M, ketika sebagian besar wilayah Asia
Tenggara dibawah kekuasaaan Kerajaan
Sriwijaya, kapal-kapal “Kunlun” China yang melintasi Selat
Malaka-Selat Singapura, baik dari Barat ke Timur maupun sebaliknya meminta
bantuan para Pelaut yang berada di sekitar Selat Malaka-Selat Singapura untuk
memandu kapal mereka ketika melintasi Selat Malaka-Selat
Singapura, para Pelaut tersebut umumnya para Pelaut dari
kota Pasai (disisi Barat) dan para
Pelaut dari kota Malaka/Tumasek (disisi Timur).
Proses/kegiatan ini oleh orang-orang disekitar
Selat
Malaka-Selat Singapura menyebutnya “KUNLUN BO”, inilah cikal bakal
proses/kegiatan Pemanduan di Selat
Malaka-Selat Singapura bahkan mungkin di Dunia. Istilah Kunlon Bo masih
digunakan sampai abad ke-16 M, bahkan ketika wilayah kekuasan Sriwijaya jatuh
ke tangan Kerajaan Singasari dan Majapahit.
Dalam bukunya yang fenomenal, yang sempat menggemparkan
Literatur Eropa diakhir abad ke-
13 M, “A
Description of The World”, Marco Polo, sebagai orang Eropa pertama yang
berkunjung ke Timur Jauh (Asia Timur),
pada tahun 1272 Marco Polo bersama ayahnya Nicolo Polo dan pamannya Maffeo
Polo, melintasi Selat Malaka-Selat Singapura ketika akan berkunjung ke China
juga meminta bantuan Operator Kunlun Bo untuk memandu kapal mereka.
Pada tahun 1409, dalam perjalanannya menuju Malaka dan Sriwijaya,
Laksamana Cheng Ho juga menggunakan jasa Konlun Bo ketika melintasi Selat
Malaka-Selat Singapura.
Panglima Alfonso d’Albuquerque, Gubernur Jenderal Pemerintah
Portugis di Goa, India, pada tahun 1509 mengirim salah seorang utusannya untuk
berkunjung ke Malaka, yaitu Capt. Lopez Squeira. Dalam buku catatannya Capt.
Lopez Squeira menceritakan bahwa ketika melintas di perairan Pasai, bertemu
dengan Kapal Dagang Saudagar Arab yang akan berlayar menuju kerajaan Batanghari
(saat ini Jambi), yang menawarkan kepada Capt. Lopez untuk mengikuti kapal
mereka jika ingin berlayar menuju Malaka atau Tumasek, karena diatas kapal
mereka telah ada seorang Pelaut utusan kerajaan Samudera Pasai yang akan
membantu mereka berlayar menuju kerajaan Batanghari.
Sejalan dengan perkembangan Dunia, peranan Selat
Malaka-Selat Singapura bagi perkembangan kawasan Asia dan Dunia semakin tinggi.
Pada era kolonialisasi, yaitu pada abad ke-16 hingga abad ke-19 terutama
setelah Terusan Suez dibuka pada tahun 1869, pejelajahan bangsa Eropa ke Timur
Jauh (Asia Timur) semakin tinggi.
Di era modern (abad ke-20), setelah diciptakannya
kapal-kapal bertenaga mesin terutama setelah berakhirnya Perang Dunia II dan
terbentuknya IMO pada tahun 1948, yang awalnya bernama Inter-Governmental
Maritime Consultative Organization (IMCO), IMCO berubah nama menjadi IMO
(International Maritime Oragnization) pada tahun 1982, tuntutan Masyarakat
Internasional atas pengelolaan Selat Malaka-Selat Singapura sebagai salah satu
jalur utama pelayaran Dunia semakin tinggi. Dalam sidang-sidang IMCO sejak
tahun 1958 sampai dengan tahun 1969, pembahasan tentang Selat Malaka-Selat
Singapura tercatat dalam beberapa sidang IMCO tersebut walaupun belum dibahas
secara spesifik.
Pada tahun 1969 hingga tahun 1975, 3 Littoral State (3
Negara Pantai Pemilik Selat MalakaSelat Singapura) yaitu; Indonesia, Malaysia
dan Singapura yang dibantu oleh Jepang melakukan survey dan penyusunan peta
laut Selat Malaka-Selat Singapura, selanjutnya mengajukan draft penetapan jalur
pelayaran Selat Malaka-Selat Singapura yang dinamai Traffic Separated Scheme (TSS)
ke IMCO.
Pada tahun 1976, 3 Littoral State (Indonesia, Malysia dan
Singapura) membentuk forum bersama yang dinamai Tripartite Technical Expert Group
(TTEG). TTEG bertujuan untuk memastikan aturan Internasional (UNCLOS)
dan Kedaulatan (Aturan) Littoral State dilaksanakan dengan baik dan tepat di
Selat Malaka-Selat Singapura.
Dan pada tahun 1977, IMCO (IMO saat ini) mengeluarkan
Resolusi A.375(X) tentang penetapn TSS dan merekomendasikan kepada semua
kapal-kapal Deep Draught Vessel (DDV) dan Very Large Crude Carrier (VLCC) untuk
menggunakan jasa Pemanduan yang disiapkan oleh Littoral State jika telah
tersedia. Selanjutnya dipertegas pada tahun 1981 dengan dikeluarkannya Resolusi
A.476(XII) tentang pengoperasian TSS dan penegasan penggunaan jasa Pemanduan di
Selat Malaka-Selat Singapura (pemberlakuan Annex V Resolusi A.375(X)).
Pada sidang Maritime Safety Committee (MSC) IMO ke-69 tahun
1998, dalam laporannya (Agenda item 22) IMO mengeluarkan peraturan tentang
penataan kembali jalur TSS dan penegasan penggunaan jasa Pemanduan bagi
kapal-kapal DDV dan VLCC yang melintasi (berlayar) di Selat Malaka-Selat
Singapura.
Dewasa ini, 40% komoditas kebutuhan Dunia diangkut melalui
Selat Malaka-Selat Singapura, lebih dari 1/3 Gas dan Minyak Dunia melintasi
Selat Malaka-Selat Singapura, lebih dari 80% kebutuhan Minyak dan Gas China dan
Jepang diangkut melalui Selat Malaka-Selat Singapura. Perjalanan panjang antar
Benua, dari Eropa atau Timur Tengah menuju Asia atau Amerika dan sebaliknya,
yang melintasi Selat Malaka-Selat Singapura, menuntut kinerja para Nahkoda dan
Awak Kapal untuk tetap fokus dan extra hati-hati.
Pada beberapa perairan yang mirip dengan perairan Selat
Malaka-Selat Singapura, seperti di
Selat Inggris, Laut Baltic, Laut Utara, Selat Torres,
Terusan Suez dan Terusan Panama, para Nahkoda tersebut dibantu oleh para Pelaut
Lokal (Pandu) ketika melintasi perairan tersebut untuk memberikan jaminan
keselamatan pelayaran. Kapal-kapal yang melintasi Selat Torres, Terusan Suez
dan Terusan Panama bahkan diwajibkan untuk menggunakan Pemanduan dengan alasan
keselamatan pelayaran dan perlindungan lingkungan Maritim.
Sebenarnya sejak tahun 2003 hingga saat ini, kegiatan
Pemanduan di Selat Malaka-Selat Singapura telah dilaksanakan oleh beberapa
perusahaan swasta dari 3 Littoral State, namun tidak disahkan/diizinkan oleh
Otoritas Littoral State (Respective Countries), bahkan beberapa perusahaan
tersebut tidak menggunakan terminologi Pemanduan dalam melaksanakan kegiatan
tersebut, karena sebenarnya mereka tidak mendapatkan izin dari Otoritas
Littoral State (Respective Countries).
Berdasarkan data IMB dan Maritime and Port Authority
Singapore (MPA Singapore), pada tahun 2009 traffic kapal yang beroperasi di
Selat Malaka-Selat Singapura sekitar 71.350 kapal atau 195 kapal per hari,
dengan pertumbuhan traffic per tahun rata-rata 2%, tahun 2016 traffic tersebut
meningkat menjadi 82.850 kapal atau 226 kapal per hari. Pengaturan lalu lintas
di Selat Malaka-Selat Singapura saat ini telah menggunakan peralatan yang
canggih, adanya beberapa stasiun VTS (Vessel Traffic System) di Selat Malaka-Selat
Singapura ditambah dengan peralatan Navigasi kapal yang sudah canggih,
menjadikan pelayaran di Selat Malaka-Selat Singapura menjadi lebih baik. Namun
faktanya, pada tahun 2010 hingga 2015 terjadi 331 kecelakaan di Selat
Malaka-Selat Singapura, setiap minggu terjadi 1 atau 2 kali kecelakaan.
Berdasarkan catatan MPA Singapore, hampir 70% kecelakaan tersebut disebabkan
human error (kesalahan manusia). Kecelakaan ini tidak saja menyebabkan kerugian
materi senilai Miliyaran US$, tapi juga kerusakan lingkungan Maritim di sekitar
Selat Malaka-Selat Singapura yang nilainya tidak terbatas.
Tahun
|
Kecelakaan
|
Gangguan Keamanan
|
2010
|
74
|
27
|
2011
|
88
|
16
|
2012
|
60
|
16
|
2013
|
45
|
23
|
2014
|
35
|
23
|
2015
|
29
|
20
|
Setiap tahun, 3 Littoral State (Indonesia, Malaysia dan
Singapura) bersama-sama dengan Negara Pengguna (User State) seperti Jepang,
China, Australia, Amerika Serikat dan beberapa Negara anggota IMO lainnya
melalui forum TTEG selalu melakukan pertemuan guna mengevaluasi pengelolaan
Selat Malaka-Selat Singapura dalam aspek keselamatan pelayaran, perlindungan
lingkungan Maritim dan aspek keamanan. Hampir setiap tahun, forum TTEG
menghasilkan aturan/keputusan yang bertujuan untuk memaksimalkan pengelolaan
Selat Malaka-Selat Singapura agar lebih baik.
Sejak tahun 2006, 3 Littoral State (Indonesia, Malaysia dan
Singapura) melalui forum TTEG secara khusus berupaya merumuskan pedoman
pelaksanaan pemanduan di Selat Malaka-Selat Singapura. Selanjutnya, pada bulan
September 2016, pada pertemuan TTEG ke-41, 3 Littoral State sepakat menetapkan
guidelines to implement the voluntary pilotage services in the straits of
Malacca and Singapore (Guidelines to implement the VPS in SOMS) dan berkomitmen
untuk menjalankan the VPS in SOMS pada kesempatan pertama. Berdasarkan hasil
TTEG ke-41 tersebut, Pemerintah Indonesia pada bulan Nopember 2016 melalui
Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Laut No. BX-428/PP 304 menunjuk salah
satu perusahaan Operator Pemanduan yaitu PT Pelabuhan Indonesia I
(Persero)/Pelindo 1 untuk melaksanakan the VPS in SOMS. Selanjutnya pada bulan
Januari 2017, 3 Littoral State menyetujui penunjukan Pelindo 1 sebagai
satu-satunya Operator Pemanduan yang secara sah ditunjuk dan diakui oleh
Otoritas 3 Littoral State (penunjukan oleh Otoritas Perhubungan Pemerintah
Indonesia).
Pelindo 1, sebagai perusahaan milik Pemerintah Republik
Indonesia (State Owned Enterprise) yang telah berpengalaman melaksanakan
kegiatan Pemanduan sejak tahun 1984, memiliki 17 Pelabuhan yang berhadapan
langsung dengan Selat Malaka-Selat Singapura dari mulai perairan Sabang (Aceh)
sampai ke perairan Tanjung Uban di Pulau Bintan.
Sejak tahun 2009, atas dorongan dari Kementerian Perhubungan
Republik Indonesia, Pelindo 1 selalu mengikuti pertemuan-pertemuan TTEG dan
telah berupaya mempersiapkan diri untuk melaksanakan Pemanduan di Selat
Malaka-Selat Singapura, dan pada tahun 2015 Pelindo 1 telah berhasil
mendapatkan kepercayaan Pengguna Jasa untuk melaksanakan pemanduan di Selat
Malaka-Selat Singapura.
Saat ini, Indonesia (dan Pelindo 1) telah menyiapkan seluruh
sumber daya sebagaimana yang dipersyaratkan dalam Guidelines to implement the
VPS in SOMS, antara lain:
1.
Sumber daya Manusia (khususnya Pandu) sebanyak 40
Orang, seluruh Pandu tersebut telah ikut melaksanakan pemanduan di Selat
Malaka-Selat Singapura sejak Maret 2015.
2.
9 Unit kapal Pandu dan 7 Stasiun Pandu yang berlokasi
di Lhokseumawe, Belawan, Kuala Tanjung, Dumai, Tanjung Balai Karimun, Batam dan
Tanjung Uban.
3.
2 stasiun VTS yang berlokasi di Belawan dan Batam.
4.
Peralatan bantu pemanduan berupa Pilot Portable Unit, Telepon
Satelit dan peralatan bantu lainnya.
5.
Menetapkan titik Pilot Boarding Ground (POB) di sisi
Barat pada koordinat 03055,000N, 099039,000E dan disisi
Timur pada koordinat 01017,428N, 104014,389E.
6.
Menetapkan Sistem dan Prosedur (SISPRO) pelayanan pemanduan
Selat Malaka-Selat Singapura.
Didukung oleh sumber daya manusia, sarana dan prasarana
terbaik, PELINDO 1 siap untuk melaksanakan Jasa Pemanduan di Selat Malaka-Selat
Singapura yang bermanfaat untuk:
1.
Meningkatkan keselamatan pelayaran
2.
Ikut berperan menjaga lingkungan maritim
3.
Membantu terciptanya kondisi keamanan yang
kondusif
Pelindo 1,
Indonesia Gateway
Pelindo 1 Deep
Sea Pilot
For The World
Safety Navigation
PT Pelabuhan Indonesia I (Persero)
Koordinator PMO Selat Malaka