Jakarta,eMaritim.com.- Siapa yang tidak kenal Sungai Mahakam di Kalimantan Timur dengan deltanya yang menyerupai sungai Amazon di Brazil?
Sungai sepanjang 920 km dan memiliki luasan delta di muaranya berukuruansekitar 60 km panjang dan lebar 30 km tersebut juga sangat terkenal karena mengandung minyak dan gas yang berlimpah .
Dimulainya pengeboran minyak dan gas oleh perusahaan Chevron,Vico dan Total di tahun 60an mendatangkan berbagai lapangan pekerjaan dan kehidupan untuk industri di provinsi tersebut.
Dengan jumlah ribuan sumur yang tersebar dari utara sampai ke selatan,delta Mahakam bagaikan sebuah piring yang penuh dengan spaghetti.
Untuk diketahui bahwa seluruh produksi gas dialirkan melalui pipa pipa ukuran besar 24 sampai 32 inchi ke utara(Bontang) untuk diolah dan di ekspor melalui kapal kapal ukuran raksasa .
Sedangkan untuk produk liquid dialirkan ke unit pengolahan dan produksi di selatan yang bernama Senipah.
Aktivitas laut di delta Mahakam berpusat di selatan,dimana alur masuk ke Kota Samarinda harus melalui wilayah yang disebut Muara Jawa.
Dari sini kapal kapal di pandu ke utara melayari Sungai Mahakam sampai ke kota Samarinda dan begitu sebaliknya.
Belum lama ini timbul sebuah demo di Kota Samarinda dimana buruh dan pemakai jasa perkapalan menolak sebuah Peraturan Menteri Perhubungan nomor 130 dan 135 seperti diulas eMaritim dalam artikelnya tertanggal 14 Maret 2016 (http://www.emaritim.com/2016/03/demo-penolakan-pm-130-dan-135-pecah-di_14.html).
Pertanyaannya kenapa hal itu bisa terjadi ?
Ada beberapa sebab yang melatar belakangi hal tersebut,salah satunya adalah kesulitan pemakai jasa sungai dengan diterapkannya aturan baru tersebut dan masalah keamanan nasional yang menjadi taruhan dari dilaksanakannya aturan tersebut.
Seperti diketahui bahwa sebelum adanya PM 130 dan 135 tersebut,kapal kapal yang berlayar disungai Mahakam mendapatkan izin gerak dari kantor KSOP Samarinda.
Dalam arti lain bahwa sungai tersebut adalah dalam satu wilayah DLKP dan DLKR Samarinda dan tidak membutuhkan izin dari otoritas lainnya.
Dengan adanya aturan baru tersebut,kapal kapal yang akan berlayar dari selatan sungai ke arah utara atau sebaliknya akan membutuhkan Surat Persetujuan Berlayar dari Kanpel Kuala Samboja dan KSOP Samarinda.
Mengapa bisa begitu ?
Dengan dibaginya sungai Mahakam menjadi 2 daerah otoritas kepelabuhan maka persoalan konyol timbul,jika kapal berlayar dari daerah labuh jangkar sebelum masuk ke Samarinda yang terletak di Muara Jawa maka itu berarti kapal berlayar dari daerah otoritas Kuala Samboja ke wilayah Samarinda dan membutuhkan SPB yang harus diurus ke kantor yang bersangkutan.
Jarak dari Muara Jawa ke kota Samarinda kurang lebih berkisar 40 Nautical mil,dan ekonomi daerah tersebut sangat tergantung dengan angkutan sungainya.
Dengan dilaksanakannya aturan tersebut maka ini sebuah langkah mundur yang sangat jauh dari rencana pemerintah untuk membuat maritim menjadi sebuah industri yang mudah dengan membuat aturan yang kontra produktif.
Permasalahan lain yang menjadi ganjalan pihak industri pelayaran lokal dan TKBM adalah surat instruksi HUBLA pusat bernomor PP 30/6/10/DP/15 yang memerintahkan KSOP Samarinda untuk memindahkan area STS (Ship to Ship) milik PT Tiga Bersaudara dari Daerah Muara Berau ke Muara Jawa.
Seperti tidak mengetahui keaadaan di lapangan,pihak HUBLA menegaskan bahwa hal tersebut harus dilakukan demi alasan keamanan.
Selama 2 tahun terakhir kegiatan STS di Muara Berau dilakukan tanpa ada masalah sama sekali di daerah yang jauh dari area pengeboran minyak dan gas.
Lalu mengapa memindahkan area STS ke tempat yang ramai kapal labuh jangkar,area pengisian minyak ke kapal Tanker,dan puluhan pipa bawah laut dikatakan untuk alasan keamanan ?
Disinilah permasalahan pemahaman dari Hubla pusat dibutuhkan,ada beda yang jelas antara Safety dengan komersial dari bisnis perkapalan dan STS.
Area STS selalu didatangi kapal kapal Batubara berbagai ukuran,baik kapal lokal maupun kapal asing dan tidak semua dari mereka mengetahui adanya pipa bawah laut di area Muara Jawa yang rencananya akan dipakai nanti.
Berpuluh puluh kali kapal larat jangkar dan terancam menggaruk pipa bawah laut di daerah tersebut dan semua itu beresiko sangat fatal baik untuk kepentingan nasional maupun lingkungan hidup.
Belum lagi hitungan berapa kali tongkang batubara lepas dari tug boat penariknya,semua mengancam Objek Vital Nasional di daerah tersebut.
Keberadaan kapal kapal penjaga (watchdog) di daerah ladang sumur Bekapai dan Peciko milik Total E&P Indonesie tidak akan mencukupi jumlahnya jika di daerah tersebut ditambahkan lagi dengan kapal kapal yang menunggu kegiatan STS nantinya.
Keberatan dari pihak pengusaha dan pemerintah daerah sudah pernah disampaikan ke Perhubungan Laut pusat,bahkan pertemuan khusus antara perwakilan Samarinda dengan Plt Dirjen Hubla Bapak Umar Aris pernah dilakukan di Jakarta belum lama ini.
Akan lebih bijaksana lagi apabila Perhubungan Laut mengundang pihak pihak yang ada di wilayah tersebut,seperti Total E&P,Chevron,KSOP Samarinda,KUPP Samboja,Perwakilan pengusaha Kapal INSA dan pihak terkait lainnya.
Tulisan ini dimaksudkan sebagai masukan kepada pembuat keputusan bahwa apabila memang keputusan itu salah masih ada waktu untuk me revisinya.
Apabila kedua kebijakan tersebut tetap dijalankan,maka yang menderita adalah industri di wilayah tersebut dengan bertambahnya biaya pengurusan Surat Persetujuan Berlayar dan lamanya proses tersebut .
Yang kedua adalah resiko yang maha dahsyat apabila ada kapal kapal Curah(Bulk) yang labuh jangkar tepat di Pipa bawah laut.
Moga moga pihak HUBLA tidak menyalahkan kapal atau Nakhodanya apabila hal yang tidak diinginkan itu terjadi,karena pemberitahuan akan resiko itu sudah berkali kalai disampaikan ke pihak Perhubungan Laut.(zah)