Jakarta, eMaritim.com - Ikatan Korps Perwira Pelayaran Niaga Indonesia (IKPPNI) hari ini Selasa, (28/08/2018) menyampaikan Petisi Maritim kepada Pemerintah melalui DPR-RI Komisi-V.
Ketua Umum IKPPNI Capt Dwiyono Soeyono menyebutkan di depan Wakil Ketua Komisi V DPR RI Anton Suratno dan Anggota Komisi V Capt Anton Sihombing mengatakan bahwa
I. Faktor SDM
Tingginya angka korban jiwa dalam rentang waktu 7 bulan terakhir tahun 2018 (Januari-Juli) dalam ranah transportasi angkutan air, akibat dari akar permasalahan yang diangkat dan dikaji dari hasil-hasil investigasi kecelakaan laut oleh Komite Nasiaonal Kecelakan Transportasi (KNKT) seringkali tidak independen dan tidak pernah menunjukkan transparansi objektivitas, sehingga sangat sulit untuk dapat dijadikan sebagai dasar pembelajaran pencegahan tatakelola Keselamatan Pelayaran Niaga kedepan bagi semua stake holders terkait dalam dunia maritim.
Ditambah lagi munculnya kesan umum dan kesimpulan bahwa kecelakaan kapal sering diakibatkan oleh faktor human errror yang diartikan identik kesalahan melulu pada operasional oleh awak kapal. Sedangkan para pihak pemangku kepentingan yang terlibat dalam tatakelola Keselamatan Pelayaran Niaga itu ada 3 (tiga) pemeran utama, yaitu:
1. Pemerintah.
2. Pengusaha/Operator Kapal.
3. Awak Kapal.
Dan semua 3 (tiga) pihak di atas pelakunya adalah juga manusia-manusia (humans). Jadi, bila dikatakan seringkali dimunculkan dalam kesimpulan dari hasil investigasi suatu kecelakaan suatu sumbernya adalah human error, perlu dipertanyakan juga human di pihak pelaku pemeran utama yang mana?
Perlu diingat bahwa bicara awak kapal (niaga) termasuk Nakhoda, standarisasi kompetensi (keahlian) sebagai dasar pendidikan, dan proficiency (keterampilan) sebagai dasar pelatihan itu sudah baku merunut pada Konvensi International Maritime Organization.
Merunut pada konvensi IMO dimaksud terkait standarisasi kompetensi, sekalian perlu dijelaskan kepada publik yang awam akan dunia maritim bahwa PELAUT (SEAFARER) itu dibagi dalam 3 (tiga) tingkatan, yaitu:
1. Managerial level - (Perwira Senior di atas kapal)
Dibekali PENDIDIKAN PERWIRA PELAYARAN NIAGA tingkat akhir (Advance) sebagai tenaga ahli Maritim ditambah pembekalan PELATIHAN-PELATIHAN KETERAMPILAN LAUT
2. Operational level - (Perwira Muda di atas kapal)
Dibekali PENDIDIKAN PERWIRA PELAYARAN NIAGA tingkat awal dan menengah (Preliminary & Intermediate) sebagai tenaga ahli Maritim ditambah pembekalan PELATIHAN-PELATIHAN KETERAMPILAN LAUT
3. Support level- (Tingkat Bintara kebawah)
Dibekali PELATIHAN-PELATIHAN KETERAMPILAN LAUT saja sebagai tenaga terampil di atas kapal.
SDM NKRI dengan tingkat kompetensi dan profisiensi yang sama sebagai SEAFARERS dan dengan mutu yang seharusnya juga sama, maka patut juga kita bandingkan reputasi para seafarers tersebut yang diserap pasar (bekerja) dalam negeri dan pasar luar negeri. Sangat jarang kita dengar berita tentang kecelakaan laut terjadi akibat dari SDM SEAFARERS Indonesia yang bekerja diluar negeri, sementara sedemikian tinggi kecelakaan kapal niaga di NKRI dengan tudingan HUMAN ERROR. Tentunya lagi-lagi perlu kita juga pertanyakan, sebenarnya dari ke-tiga pemeran utama diatas itu HUMAN FACTOR yang mana? Apakah 2 (dua) pihak lain diluar SEAFARARERS itu memiliki standar kualifikasi pendidikan yang mumpuni juga (sebagai linieritas pemahaman tehnis) sebagai kompetensi?
Dibutuhkan 10 tahun proses pendidikan untuk mendapatkan kualifikasi kompetensi tertinggi Perwira Pelayaran Naga (PPN). Namun sayangnya sampai petisi ini dimunculkan, belum juga status gelar akademis para lulusan PPN ini belum juga mendapatkan pengakuan dari negara. Sedangkan sertifikat yang diberikan berlogo GARUDA sebagai tanda kelulusan dimana dapat diartikan dokumen tersebut adalah dokumen Negara. Nomenklatur resmi dalam KM RISTEKDIKTI No.257/M/KPT/2017 tentang NAMA PRODI PADA PERGURUAN TINGGI pun belum ada. Rumpun Ilmu, sub Rumpun dan Bidang Ilmu maritim sebagai modal pengembangan negara martim dalam UU. No.12 tahun 2012 TENTANG PENDIDIKAN TINGGI pun sama sekali tidak ada. Karena itu semua tidak ada, maka untuk memikirkan maritim secara intelektualitas linier maritim setingkat akademisi lulusan Universitas pun tidak pernah akan lahir di negeri maritim ini sebagai pakar pemikir maritim.Dan lebih celaka lagi dan memprihatinkan, SDM Perwira Pelayaran Niaga yang berkontribusi sangat besar untuk menjadi jembatan 17.000 pulau lebih bagi NKRI ini, selama ini tidak memiliki Undang-Undang perlindungan profesi, tidak memiliki pengadilan adhoc profesi yang independent.
II. Ketenaga Kerjaan PELAUT secara umum
Para PELAUT seringkali di buat bingung oleh ketidak pastian hukum terkait Lembaga Kementerian mana yang menjadi induk mereka dan menjadi pijakan berlindung saat mereka bekerja untuk menghasilkan devisa bagi negara. Satu sisi kami yakin bahwa PELAUT secara umum dan PERWIRA PELAYARAN NIAGA secara khusus alaha LEX SPESIALIS, namun di sisi pemerintah sampai saat ini tidak pernah mengakomodir dan melegitimasi pemahaman demikian. Negara telah meratifikasi PERATURAN INTERNASIONAL Maritime Labor Convention 2006, namun kepastian hukum diperjelas bahwa yang diberikan mandat: DIBAWAH KEMENHUB dan bukan DIBAWAH KEMENAKER. Kami dari PPN sangat menyarankan bahwa mandat tetap dibawah KEMENTERIAN PERHUBUNGAN mengingat PPN adalah produk KEMENHUB dan Lembaga Kementerian ini juga yang memiliki SDM yang memahami teknis hubungan ketenaga kerjaan PELAUT secara internasioanl standar IMO.
III. Aparatur Sipil Negara Dalam Kementerian Perhubungan
Dalam UNDANG-UNDANG REPUBLIK Indonesia NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG APARATUR SIPIL NEGARA jelas tertuang didalamnya bahwa dalam rangka pelaksanaan cita-cita bangsa dan mewujudkan tujuan negara sebagaimana tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, perlu dibangun aparatur sipil negara yang memiliki integritas, profesional, netral dan bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta mampu menyelenggarakan pelayanan publik bagi masyarakat (dari sisi keamanan, keselamatan dan kenyamanan) dan mampu menjalankan peran sebagai unsur perekat persatuan dan kesatuan bangsa berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Menimbang juga bahwa, pelaksanaan manajemen aparatur sipil negara belum berdasarkan pada perbandingan antara kompetensi dan kualifikasi yang diperlukan oleh jabatan dengan kompetensi dan kualifikasi yang dimiliki calon dalam rekrutmen, pengangkatan, penempatan, dan promosi pada jabatan sejalan dengan tata kelola pemerintahan yang baik.
Jadi, jelas bahwa indikasi tingginya kecelakaan transportasi angkutan laut (air) dengan dampak korban jiwa yang dialamai masyarakat adalah merupakan indikasi tatakelola pemerintahan yang tidak baik, dimana bisa saja karena SDM yang tidak profesional, netral dan tidak bebas dari intervensi politik dengan kompetensi dan kualifikasi yang dimiliki tidak tepat guna.
Dan ASN adalah salah satu pemeran penting sebagai SDM yang bisa juga sebagai faktor Human Error di tingkat hulu yang selama ini luput dalam sorotan rantai sistim transportasi angkutan laut niaga sebagai penyebab kontribusi terjadinya malapetaka di laut NKRI.
IV. Organ Lembaga Keselamatan Pelayaran Niaga dan perangkat hukum.
Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK) sebagai badan khusus yang menangani kasus-kasus kecelakaan transportasi sudah ada. Pertanyaan masyarakat adalah, apakah ada LPNK yang sama namun lebih independent secara konsiten dan fokus pada pencegahan kecelakaan transportasi laut? Bila memang LPNK dengan tupoksi demikian belum ada untuk melayani kepentingan masyarakat pengguna kapal-kapal niaga, maka mohon segera dibentuk oleh pemerintah untuk melindungi kepentinga warga negara.
Tumpang tindihnya kekuatan kewenangan Undang-Undang yang sudah terkait pelayaran niaga juga dalam praktek dunia usaha kapal niaga, membuat para pengusaha kapal dan juga para Perwira diatas kapal jengah dan bingung, karena lagi-lagi tidak ada kepastian hukum. Hal demikian sangat berdampak pada kelancaran perputaran ekonomi dari sektor laut (pelayaran niaga), karena para pengusaha tidak merasa terlindungi oleh kepastian hukum dalam kegiatan usahanya. Bila hal demikian terjadi, dampak lain adalah tentunya terjadi kontra produktif dan demotivate kepada para Periwra Pelayaran Niaga yang bertugas diatas kapal, dan menurunnya kineja antar instansi sebagai penyelenggara negara.
Indonesia membutuhkan INTELEKTUALITAS TATA KELOLA pelayaran niaga yang berkualitas dan menjamin keselamatan jiwa, harta benda dan kelestarian lingkungan. Faktanya kondisi saat ini sangat jauh dari ideal. Data korban jiwa akibat kecelakaan pelayaran niaga sampai akhir Juli 2018 sudah lebih dari 250 korban, sementara tahun tahun sebelumnya jumlah korban pun selalu diatas angka 100 jiwa.
Untuk meningkatkan keselamatan dalam pelayaran niaga, kami sebagai warga negara dan tenaga ahli pelayaran niaga dari Ikatan Korps Perwira Pelayaran Niaga Indonesia (IKPPNI) yang selalu berperan aktif dan perduli dengan ini meyampaikan petisi kepada Bapak Presiden-RI Ir. Joko Widodo melalui Komisi-V DPR-RI agar diperhatikan dan ditindak lanjuti, isi petisi tersebut adalah ;
1) Sumber Daya Manusia Maritim (Perwira Pelayaran Niaga) :
a. Status kesetaraan Pengakuan Gelar Akademik lulusan Pendidikan Tinggi Pelayaran Niaga (Perwira Pelayaran Niaga) yang harus dituangkan dalam bentuk Keputusan Presiden sesuai Undang-undang nomor 12 tahun 2012 tentang PENDIDIKAN TINGGI atau dalam bentuk Surat Keputusan Menteri Riset dan Teknologi Pedidikan Tinggi dan dituntaskan kedalam daftar nomenklatur RISTEKDIKTI KM RISTEKDIKTI No.257/M/KPT/2017 tentang NAMA PRODI PADA PERGURUAN TINGGI;
b. Merevisi Undang-Undang Ristekdikti dengan menambahkan rumpun Ilmu Maritim (Pelayaran Niaga);
c. Mendirikan Universitas Maritim untuk peningkatan pengembangan Pendidikan kemaritiman di NKRI. Kebutuhan akan tenaga akademik tingkat tenaga ahli dengan mendesak pemenuhan agar Negara
d. Membuat Undang-Undang perlindungan untuk profesi Perwira Pelayaran Niaga di Indonesia.
2) Ketenaga Kerjaan Pelaut:
Meminta agar RATIFIKASI KONVENSI ILO-IMO Maritime Labour Convention 2006, kewenangannya ada dibawah Lembaga Kementerian Perhubungan tidak dibawah Lembaga Kementerian Tenaga Kerja agar Indonesia tetap dalam IMO White List.
3) Implementasi Lembaga Negara Dibidang Kemaritiman :
a. Penertiban Aparatur Sipil Negara atas kewenangan tatakelola dan pengambilan kebijakan teknis Keselamatan Pelayaran Niaga yang tidak sesuai dengan UU No.5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara dalam tubuh Lembaga Kementerian Perhubungan cq dalam Direktorat Jenderal Perhubungan Laut;
b. Diadakannya Peradilan Maritim independent bagi tenaga ahli Perwira Pelayaran Niaga dan beranggotakan Tenaga Ahli maritim dari Perwira Pelayaran Niaga (PPN) yang telah memenuhi persyaratan.
4) Organ Keselamatan Pelayaran dan perangkat hukum:
a. Dibentuknya Badan Keselamatan Pelayaran Niaga independent yang beranggotakan praktisi tenaga ahli pelayaran niaga untuk Pencegahan Kecelakaan Pelayaran Niaga;
b. Merevisi beberapa Undang-Undang Negara terkait Pelayaran Niaga yang telah ada, yang mana diamati selama ini dalam pelaksanaannya isi undang-undang terkait tersebut saling tumpang tindih dalam kewenangan tatakelola Keselamatan Pelayaran Niaga. (Hp)
Ketua Umum IKPPNI Capt Dwiyono Soeyono menyebutkan di depan Wakil Ketua Komisi V DPR RI Anton Suratno dan Anggota Komisi V Capt Anton Sihombing mengatakan bahwa
I. Faktor SDM
Tingginya angka korban jiwa dalam rentang waktu 7 bulan terakhir tahun 2018 (Januari-Juli) dalam ranah transportasi angkutan air, akibat dari akar permasalahan yang diangkat dan dikaji dari hasil-hasil investigasi kecelakaan laut oleh Komite Nasiaonal Kecelakan Transportasi (KNKT) seringkali tidak independen dan tidak pernah menunjukkan transparansi objektivitas, sehingga sangat sulit untuk dapat dijadikan sebagai dasar pembelajaran pencegahan tatakelola Keselamatan Pelayaran Niaga kedepan bagi semua stake holders terkait dalam dunia maritim.
Ditambah lagi munculnya kesan umum dan kesimpulan bahwa kecelakaan kapal sering diakibatkan oleh faktor human errror yang diartikan identik kesalahan melulu pada operasional oleh awak kapal. Sedangkan para pihak pemangku kepentingan yang terlibat dalam tatakelola Keselamatan Pelayaran Niaga itu ada 3 (tiga) pemeran utama, yaitu:
1. Pemerintah.
2. Pengusaha/Operator Kapal.
3. Awak Kapal.
Dan semua 3 (tiga) pihak di atas pelakunya adalah juga manusia-manusia (humans). Jadi, bila dikatakan seringkali dimunculkan dalam kesimpulan dari hasil investigasi suatu kecelakaan suatu sumbernya adalah human error, perlu dipertanyakan juga human di pihak pelaku pemeran utama yang mana?
Perlu diingat bahwa bicara awak kapal (niaga) termasuk Nakhoda, standarisasi kompetensi (keahlian) sebagai dasar pendidikan, dan proficiency (keterampilan) sebagai dasar pelatihan itu sudah baku merunut pada Konvensi International Maritime Organization.
Merunut pada konvensi IMO dimaksud terkait standarisasi kompetensi, sekalian perlu dijelaskan kepada publik yang awam akan dunia maritim bahwa PELAUT (SEAFARER) itu dibagi dalam 3 (tiga) tingkatan, yaitu:
1. Managerial level - (Perwira Senior di atas kapal)
Dibekali PENDIDIKAN PERWIRA PELAYARAN NIAGA tingkat akhir (Advance) sebagai tenaga ahli Maritim ditambah pembekalan PELATIHAN-PELATIHAN KETERAMPILAN LAUT
2. Operational level - (Perwira Muda di atas kapal)
Dibekali PENDIDIKAN PERWIRA PELAYARAN NIAGA tingkat awal dan menengah (Preliminary & Intermediate) sebagai tenaga ahli Maritim ditambah pembekalan PELATIHAN-PELATIHAN KETERAMPILAN LAUT
3. Support level- (Tingkat Bintara kebawah)
Dibekali PELATIHAN-PELATIHAN KETERAMPILAN LAUT saja sebagai tenaga terampil di atas kapal.
SDM NKRI dengan tingkat kompetensi dan profisiensi yang sama sebagai SEAFARERS dan dengan mutu yang seharusnya juga sama, maka patut juga kita bandingkan reputasi para seafarers tersebut yang diserap pasar (bekerja) dalam negeri dan pasar luar negeri. Sangat jarang kita dengar berita tentang kecelakaan laut terjadi akibat dari SDM SEAFARERS Indonesia yang bekerja diluar negeri, sementara sedemikian tinggi kecelakaan kapal niaga di NKRI dengan tudingan HUMAN ERROR. Tentunya lagi-lagi perlu kita juga pertanyakan, sebenarnya dari ke-tiga pemeran utama diatas itu HUMAN FACTOR yang mana? Apakah 2 (dua) pihak lain diluar SEAFARARERS itu memiliki standar kualifikasi pendidikan yang mumpuni juga (sebagai linieritas pemahaman tehnis) sebagai kompetensi?
Dibutuhkan 10 tahun proses pendidikan untuk mendapatkan kualifikasi kompetensi tertinggi Perwira Pelayaran Naga (PPN). Namun sayangnya sampai petisi ini dimunculkan, belum juga status gelar akademis para lulusan PPN ini belum juga mendapatkan pengakuan dari negara. Sedangkan sertifikat yang diberikan berlogo GARUDA sebagai tanda kelulusan dimana dapat diartikan dokumen tersebut adalah dokumen Negara. Nomenklatur resmi dalam KM RISTEKDIKTI No.257/M/KPT/2017 tentang NAMA PRODI PADA PERGURUAN TINGGI pun belum ada. Rumpun Ilmu, sub Rumpun dan Bidang Ilmu maritim sebagai modal pengembangan negara martim dalam UU. No.12 tahun 2012 TENTANG PENDIDIKAN TINGGI pun sama sekali tidak ada. Karena itu semua tidak ada, maka untuk memikirkan maritim secara intelektualitas linier maritim setingkat akademisi lulusan Universitas pun tidak pernah akan lahir di negeri maritim ini sebagai pakar pemikir maritim.Dan lebih celaka lagi dan memprihatinkan, SDM Perwira Pelayaran Niaga yang berkontribusi sangat besar untuk menjadi jembatan 17.000 pulau lebih bagi NKRI ini, selama ini tidak memiliki Undang-Undang perlindungan profesi, tidak memiliki pengadilan adhoc profesi yang independent.
II. Ketenaga Kerjaan PELAUT secara umum
Para PELAUT seringkali di buat bingung oleh ketidak pastian hukum terkait Lembaga Kementerian mana yang menjadi induk mereka dan menjadi pijakan berlindung saat mereka bekerja untuk menghasilkan devisa bagi negara. Satu sisi kami yakin bahwa PELAUT secara umum dan PERWIRA PELAYARAN NIAGA secara khusus alaha LEX SPESIALIS, namun di sisi pemerintah sampai saat ini tidak pernah mengakomodir dan melegitimasi pemahaman demikian. Negara telah meratifikasi PERATURAN INTERNASIONAL Maritime Labor Convention 2006, namun kepastian hukum diperjelas bahwa yang diberikan mandat: DIBAWAH KEMENHUB dan bukan DIBAWAH KEMENAKER. Kami dari PPN sangat menyarankan bahwa mandat tetap dibawah KEMENTERIAN PERHUBUNGAN mengingat PPN adalah produk KEMENHUB dan Lembaga Kementerian ini juga yang memiliki SDM yang memahami teknis hubungan ketenaga kerjaan PELAUT secara internasioanl standar IMO.
III. Aparatur Sipil Negara Dalam Kementerian Perhubungan
Dalam UNDANG-UNDANG REPUBLIK Indonesia NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG APARATUR SIPIL NEGARA jelas tertuang didalamnya bahwa dalam rangka pelaksanaan cita-cita bangsa dan mewujudkan tujuan negara sebagaimana tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, perlu dibangun aparatur sipil negara yang memiliki integritas, profesional, netral dan bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta mampu menyelenggarakan pelayanan publik bagi masyarakat (dari sisi keamanan, keselamatan dan kenyamanan) dan mampu menjalankan peran sebagai unsur perekat persatuan dan kesatuan bangsa berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Menimbang juga bahwa, pelaksanaan manajemen aparatur sipil negara belum berdasarkan pada perbandingan antara kompetensi dan kualifikasi yang diperlukan oleh jabatan dengan kompetensi dan kualifikasi yang dimiliki calon dalam rekrutmen, pengangkatan, penempatan, dan promosi pada jabatan sejalan dengan tata kelola pemerintahan yang baik.
Jadi, jelas bahwa indikasi tingginya kecelakaan transportasi angkutan laut (air) dengan dampak korban jiwa yang dialamai masyarakat adalah merupakan indikasi tatakelola pemerintahan yang tidak baik, dimana bisa saja karena SDM yang tidak profesional, netral dan tidak bebas dari intervensi politik dengan kompetensi dan kualifikasi yang dimiliki tidak tepat guna.
Dan ASN adalah salah satu pemeran penting sebagai SDM yang bisa juga sebagai faktor Human Error di tingkat hulu yang selama ini luput dalam sorotan rantai sistim transportasi angkutan laut niaga sebagai penyebab kontribusi terjadinya malapetaka di laut NKRI.
IV. Organ Lembaga Keselamatan Pelayaran Niaga dan perangkat hukum.
Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK) sebagai badan khusus yang menangani kasus-kasus kecelakaan transportasi sudah ada. Pertanyaan masyarakat adalah, apakah ada LPNK yang sama namun lebih independent secara konsiten dan fokus pada pencegahan kecelakaan transportasi laut? Bila memang LPNK dengan tupoksi demikian belum ada untuk melayani kepentingan masyarakat pengguna kapal-kapal niaga, maka mohon segera dibentuk oleh pemerintah untuk melindungi kepentinga warga negara.
Tumpang tindihnya kekuatan kewenangan Undang-Undang yang sudah terkait pelayaran niaga juga dalam praktek dunia usaha kapal niaga, membuat para pengusaha kapal dan juga para Perwira diatas kapal jengah dan bingung, karena lagi-lagi tidak ada kepastian hukum. Hal demikian sangat berdampak pada kelancaran perputaran ekonomi dari sektor laut (pelayaran niaga), karena para pengusaha tidak merasa terlindungi oleh kepastian hukum dalam kegiatan usahanya. Bila hal demikian terjadi, dampak lain adalah tentunya terjadi kontra produktif dan demotivate kepada para Periwra Pelayaran Niaga yang bertugas diatas kapal, dan menurunnya kineja antar instansi sebagai penyelenggara negara.
Indonesia membutuhkan INTELEKTUALITAS TATA KELOLA pelayaran niaga yang berkualitas dan menjamin keselamatan jiwa, harta benda dan kelestarian lingkungan. Faktanya kondisi saat ini sangat jauh dari ideal. Data korban jiwa akibat kecelakaan pelayaran niaga sampai akhir Juli 2018 sudah lebih dari 250 korban, sementara tahun tahun sebelumnya jumlah korban pun selalu diatas angka 100 jiwa.
Untuk meningkatkan keselamatan dalam pelayaran niaga, kami sebagai warga negara dan tenaga ahli pelayaran niaga dari Ikatan Korps Perwira Pelayaran Niaga Indonesia (IKPPNI) yang selalu berperan aktif dan perduli dengan ini meyampaikan petisi kepada Bapak Presiden-RI Ir. Joko Widodo melalui Komisi-V DPR-RI agar diperhatikan dan ditindak lanjuti, isi petisi tersebut adalah ;
1) Sumber Daya Manusia Maritim (Perwira Pelayaran Niaga) :
a. Status kesetaraan Pengakuan Gelar Akademik lulusan Pendidikan Tinggi Pelayaran Niaga (Perwira Pelayaran Niaga) yang harus dituangkan dalam bentuk Keputusan Presiden sesuai Undang-undang nomor 12 tahun 2012 tentang PENDIDIKAN TINGGI atau dalam bentuk Surat Keputusan Menteri Riset dan Teknologi Pedidikan Tinggi dan dituntaskan kedalam daftar nomenklatur RISTEKDIKTI KM RISTEKDIKTI No.257/M/KPT/2017 tentang NAMA PRODI PADA PERGURUAN TINGGI;
b. Merevisi Undang-Undang Ristekdikti dengan menambahkan rumpun Ilmu Maritim (Pelayaran Niaga);
c. Mendirikan Universitas Maritim untuk peningkatan pengembangan Pendidikan kemaritiman di NKRI. Kebutuhan akan tenaga akademik tingkat tenaga ahli dengan mendesak pemenuhan agar Negara
d. Membuat Undang-Undang perlindungan untuk profesi Perwira Pelayaran Niaga di Indonesia.
2) Ketenaga Kerjaan Pelaut:
Meminta agar RATIFIKASI KONVENSI ILO-IMO Maritime Labour Convention 2006, kewenangannya ada dibawah Lembaga Kementerian Perhubungan tidak dibawah Lembaga Kementerian Tenaga Kerja agar Indonesia tetap dalam IMO White List.
3) Implementasi Lembaga Negara Dibidang Kemaritiman :
a. Penertiban Aparatur Sipil Negara atas kewenangan tatakelola dan pengambilan kebijakan teknis Keselamatan Pelayaran Niaga yang tidak sesuai dengan UU No.5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara dalam tubuh Lembaga Kementerian Perhubungan cq dalam Direktorat Jenderal Perhubungan Laut;
b. Diadakannya Peradilan Maritim independent bagi tenaga ahli Perwira Pelayaran Niaga dan beranggotakan Tenaga Ahli maritim dari Perwira Pelayaran Niaga (PPN) yang telah memenuhi persyaratan.
4) Organ Keselamatan Pelayaran dan perangkat hukum:
a. Dibentuknya Badan Keselamatan Pelayaran Niaga independent yang beranggotakan praktisi tenaga ahli pelayaran niaga untuk Pencegahan Kecelakaan Pelayaran Niaga;
b. Merevisi beberapa Undang-Undang Negara terkait Pelayaran Niaga yang telah ada, yang mana diamati selama ini dalam pelaksanaannya isi undang-undang terkait tersebut saling tumpang tindih dalam kewenangan tatakelola Keselamatan Pelayaran Niaga. (Hp)